Senin, 27 Juni 2011

Anak-Anak Berkepala Besar


“Tidak benar bahwa acara membolos kita siang hari ini bertujuan untuk mencederai masa depan kita. Siapa bilang seperti itu akan kupotong jarinya. Kelima-limanya. Aku tak main-main. Siapa berani mengadu akan kusobek mulutnya. Kita di sini justru demi menyelamatkan masa depan kita,” ucapnya lantang, teguh dan berapi-api.
Lengkap sudah. Aku bertanya-tanya dalam hati, dalam kekagumanku terhadap siratan pesona lelaki berkulit bersih di hadapanku, sejak kapan ia belajar menjadi seperti Bung Karno? Aku tak mampu membantah, bukan karena aku takut ancaman potong jari atau robek mulut yang ia lontarkan – aku tahu benar ia hanya sesumbar, aku hanya takut namaku akan dicoret dari daftar pembela setianya yang seolah-olah rela berharakiri massal demi keselamatannya. Memang ukuran tubuhnya tergolong mini bahkan mungkin ia akan dengan mudahnya rubuh sekali libas tapi kharismanya tak tertandingi
            “Ayo kita bersama-sama menuntut keadilan. Kalau tak segera dituruti kita segel gedung sekolah ini, kalau perlu kita bakar sekalian!!!”
            Teman-temanku bersorak menyambut ajakan anarki ”nabi” mereka dan kucing bernama Poki, ”totem” mereka mengeong penuh gairah mendengar semangat muda para darah juang yang merasa mereka telah terbuang oleh bangsanya sendiri. Pendidikan mahal, ujung-ujungnya uang yang disetorkan dengan cara memeras keringat sehari semalam mengalir ke kantong oknum-oknum busuk dan gemar omong kosong. Menyakitkan. Bohong soal renovasi gedung induk, tembok-temboknya keropos tak rata seperti muka bulan. Bohong soal pembangunan mushola, hari berganti hari aku dan teman-temanku tetap shalat di atas lapangan serba guna bahkan di atas meja kelas kalau hujan datang melembekkan tanah lapangan, wudlu juga masih kesulitan karena airnya tak steril, keran mengalir ogah-ogahan, warna airnya pun seperti pipis para koruptor. Aku dan teman-temanku terpaksa harus mengantre dulu sebelum bertemu dengan Tuhan padahal jatah istirahat cuma 15 menit. Siapa telat guru diktator siap melaknat!
            Dan di tempat ini, di pinggir selokan yang penuh muntahan sampah rumah tangga aku dan teman-temanku dipimpin si Bos Besar merencanakan demonstarsi besar-besaran Jumat besok. Rasanya bergemuruh di dada karena bagi umat Islam hari Jumat dianggap lebih sakral dari keenam saudaranya yang lain. Demonstrasi menuntut realisasi pembangunan akan dilancarkan seusai shalat Jumat bakal membawa aura tersendiri bagi aku dan teman-temanku. Di otakku demonstrasi besok mengangkat pesan suci dan mendalam serupa jihad menghancurkan orang-orang kafir yang merebut tanah para muslim di belahan bumi sana.
            Si Bos Besar nampak berkerut keningnya memikirkan strategi, ia tak ingin kesempatan kedua menjajal kepemimpinannya untuk menaklukan ”tirani” gagal di depan para pengagum setianya. Ia ingin kepala sekolah yang busuk itu mau membuka mata kemudian turun tangan melaksanakan tuntutan para demonstran. Bahkan aku menangkap si Bos Besar bermaksud lebih jauh lagi yaitu melakukan kudeta terhadap kursi pemerintahan kepala sekolah. Sedikit bercerita, kesempatan pertamanya terjadi sekitar tiga bulan yang lalu dan sekaligus menjadi kegagalan pertamanya yaitu melengserkan guru Bahasa Indonesia dari kota yang memaksa siswa membeli LKS dengan harga dua kali lipat. Barangsiapa yang tidak membeli diancam dengan angka merah yang memerahkan telinga bapak ibu kami di akhir tahun.
            ”Ingat satu hal tentang filosofi sapu lidi!”
            Aku dan teman-temanmu mengangguk khidmat.
            ”Kita akan menjadi angkatan pertama yang mematahkan kebengisan oknum-oknum tak bermoral di balik kebobrokan sekolah ini!!!! Kita akan menjadi bagian dari masa depan adik-adik kelas kita – para calon menteri bahkan presiden!!!!”
            Semua bersorak dari hati yang paling dalam. Ia sungguh berbakat, batinku.
            ”Lalu bagaimana teknisnya,” tanya salah seorang dari teman-temanmu. Orang nomor dua setelah si Bos Besar. Suaranya serak seperti menahan dahak di tenggorokan. Di antara yang lain ia memang yang paling kritis dalam menerima kebijakan-kebijakan si Bos Besar. Ia juga yang paling terfasilitasi ketimbang teman-teman yang lain meskipun hanya berupa sepeda karatan merk Cina. Orangtuanya bekerja di luar kota, ia hidup di desa dengan neneknya seorang. Sepeda karatan itu selalu dipuji-puji si Bos Besar sebagai alat pelancar mobilitas gerakan ”murid-murid spesial” pimpinannya.
            Sebelum menjawab pertanyaan anak itu si Bos Besar berpikir beberapa detik. Anak buruh tani miskin itu lantas tersenyum sambil menjentikkan jari, ”Sebelumnya kita harus memastikan bahwa pertemuan kita siang hari ini bersifat rahasia. Sudahkah aku bilang pada kepala sekolah sialan itu bahwa Bu Karni memberi tugas luar kelas pada kita untuk mencari kodok buat praktek besok pagi,” tanyanya pada salah seorang kaki tangannya yang berbadan gempal. Anak itu mengangguk yakin,”Ok. Bagus. Berarti langkah pertama kita sukses. Langkah kedua adalah nanti sore kita akan buat spanduk, ikat kepala, dan bendera kecil-kecil untuk ditulisi tuntutan-tuntutan kita kalau perlu olok-olokan untuk si tua bangka itu! O ya, aku, aku butuh lagi sepedamu untuk pinjam pengeras suara di balai desa. Nanti pinjamnya atas namaku. Tenang saja, jadi kalau ada kerusakan biar aku yang menanggung.”
            Dadanya membusung, hidungnya kembang kempis. Ia nampak heroik berorasi dengan sengatan matahari dari balik punggunya. Kepalanya yang lonjong seakan terlindung oleh praba. Diam-diam aku mulai menyusun rencana agar demonstrasi besok sepedas demo para mahasiswa di kota-kota besar seperti yang aku lihat di televisi setiap malam minggu sebelum jam sembilan malam di balai desa. Ada api, ada jejogedan, ada nyanyian, dan ada aksi meremukkan pagar. Aku mengacungkan tangan. Si Bos Besar mengangguk mempersilakan aku untuk memberi usul. Meskipun terkesan otriter ia tetap demokratis.
            ”Bagaimana kalau ada bakar-bakaran seperti yang kita lihat di televisi?”
            ”Ide bagus,”serunya.
            ”Bagaimana kalau ditambah dengan yel-yel dan jejogedan? Kita pakai alat-alat masak ibu kita untuk membuat musiik rakyat yang sarat dengan kritik!!!”
            ”Brilian,”pujinya sambil menepuk pundakku penuh simpati dan rasa bangga yang dalam. Aku tersanjung. Orang-orang di sekitarku mengangguk-angguk sempurna mengiakan buah pikiranku. Mereka mungkin agak tak percaya bocah kecil sepertiku bisa memberikan ide yang disetujui oleh si Bos Besar. Aku termasuk anak yang pendiam dalam perkumpulan para pemberontak tengil ini.
            ”Baiklah, usulmu sungguh hebat. Tinggal kita pikir bagaimana strateginya. Yang pertama untuk melakukan bakar-bakaran tentu kita membutuhkan bahan bakar yang cukup banyak. Paling tidak dua jirigen lalu kayu bakar sekian potong. Soal kayu bakar aku yakin kita bawa sendiri dari rumah secukupnya. Untuk minyak tanah kita akan patungan uang untuk membelinya di warung. Setuju?”
            ”Setuju!!!” Seru para calon demonstran cilik.
            ”Bagus. Sekarang yang kedua, aksi jejogedan musik rakyat. Kita cuma 15 anak. Itu tidak memungkinkan untuk membuat keriuhan yang dahsyat besok, karena sesuai rencana aku akan membagi 15 anak itu yang pertama untuk berorasi sebanyak 3 orang termasuk aku, yang kedua untuk aksi teatrikal 5 orang, yang ketiga 3 orang untuk mengibarkan bendera merah putih, dan sisanya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan membawa spanduk dan membuat bebakaran. Terpaksa kita harus melibatkan adik-adik kelas kita untuk aksi besok.”
            Si Kritis lantas mengacungkan tangan.
            ”Tetapi mereka masih terlalu bocah untuk ikut ke dalam aksi kita. Mereka masih lugu sekali. Tak tahu apa-apa! Kasihan mereka nanti.”
            Si Bos Besar menggeleng-geleng tanda tak sependapat dengan usulannya. Ia tersenyum,”Begini, saudaraku,”katanya sambil merendahkan suara,”Apa kalian belum pernah melihat perjuangan anak-anak di Jalur Gaza? Mereka yang masih seumuran adik-adik kita bahkan lebih kecil lagi berani mengangkat ketapel melawan tank-tank Israel. Aksi kita tak ada apa-apanya dibandingkan dengan aksi bocah-bocah pemberani di jalur Gaza!”
            Semua terdiam beku. Si Bos Besar benar. Kami merenungi nasib saudara-saudara kami di Gaza yang bahkan rela mati demi membela tanah air mereka. Kami menyaksikan bersama-sama Palestina yang membara dari layar kaca beberapa bulan silam. Masih segar di memori kami akan raut wajah takut, tangis, darah, dan nyawa teman-teman kami yang sebegitu mudahnya terenggut. Kami tersentuh. Kami mengutuk. Kami juga terjangkit inspirasi agar menjadi seberani mereka – memang bukan untuk memperebutkan sumber air atau tanah yang kian hari kian dijamuri pemukiman liar para Yahudi tapi untuk pendidikan kami yang ujung-ujungnya untuk tanah air juga. Kami di sini satu misi dengan teman-teman di Palestina yaitu membebaskan diri dari penindasan.
            ”Kalau begitu sekarang kita susun strategi untuk aksi besok. Jadi setelah salat Jumat selesai kita keluar satu per satu. Yang pertama kali bergerak menuju lapangan adalah yang duduk di shaf paling belakang. Agar tidak mencurigakan bergerak satu per satu dengan selang waktu agak lama. Kalian pasti bisa mengira-ngira. Aku akan duduk di shaf paling depan besok karena aku ditugasi jadi muadzin oleh Pak Ustadz. Ingat jangan terlalu berisik. Tapi jangan semua menuju ke lapangan,beberapa orang mengambil perlengkapan di gudang rumahku dan beberapa lainnya mengkoordinir adik-adik kelas kita karena bukan tidak mungkin mereka lebih sulit diatur daripada kita!”
            ”Berapa orang?”
            ”Untuk mengambil perlengkapan empat orang saja. Nanti pulang balik juga tak apa. Untuk yang mengkoordinir dua orang saja, kamu dan kamu, kupikir kalian berkemampuan untuk mengambil hati anak-anak kecil. Nanti aku susul kalian, jadi kita bertiga berangkat bersama anak-anak itu ke lapangan bersama.
            Nah sekarang saatnya kita bagi tugas untuk pra aksi. Yang kutunjuk tolong mengacungkan tangan kemudian berdiri di sebelahku.”
            Jantungku berdetak cukup keras menanti perintahnya. Apapun tugasku aku akan melakukannya dengan sepenuh hati. Di sini kami, anak-anak, berjuang bersama demi kepentingan bersama.
            ”Bayu, Rosyid, Dimas, Retno, dan Nunik, maju ke depan! Kalian bertugas untuk membuat adegan tetrikal.”
            Kelimanya maju. Retno dan Nunik bergandengan tangan menyelaraskan maksud. Keduanya agak malu-malu, namun entah mengapa terpancar kesukacitaan yang kuat pada mata bening mereka. Bos Besar tak pernah salah memilih orang-orang kepercayaannya.
            ”Ok, sekarang kalian boleh pergi dari tempat ini untuk mempersiapkan aksi kalian besok. Kita semua berharap kalian berlima bisa tampil sebaik mungkin besok.”
            ”Siap!” tanggap kelimanya. Mereka lantas berlari meninggalkan kerumunan. Kaki-kaki kokoh mereka menciptakan debu tipis di sekeliling pasukan itu.
            Aku menunggu giliranku dipanggil si Bos Besar. Sementara yang lain telah berpencar ke berbagai arah guna menunaikan tugas suci masing-masing. Kini yang masih tinggal di tepi empang bau ini hanyalah si Bos Besar, aku, dan si Kritis.
            ”Ini tugas penting, kamu,” tunjuknya ke dadaku,” kamu berperan vital dalam demonstrasi ini. Malam nanti kamu buat orasi untuk dirimu sendiri. Siapkan yang terbaik, perbanyak kalimat hujatan, tapi ingat, harus tetap sopan!”
            ”Aku?” tanyaku. Aku tak percaya, begitu juga dengan Si Kritis, dia nampak terkejut sekaligus senang melihatku bergabung dalam kelompok yang setugas dengannya.
            ”Ya, kamu. Tulisanmu sangat mengagumkan. Kamu memang pendiam, tapi aku tahu kamu sebenarnya handal dalam berorasi seperti Bung Karno.”
            ”Aku tidak yakin.”
            ”Ah, sudahlah, ambil saja. Amanat jangan disia-siakan!” pojok si Kritis padaku.
            ”Kalau begitu, sekarang kita mulai mengkoordinir adik-adik kelas. Mungkin mereka sudah pulang.”
            Si Kritis berpikir sesuatu. Sepertinya di otaknya terbersit kegalauan.
            ”Apa benar akan kita temui satu persatu di rumah?”
            ”Menurutmu?”
            Dia lantas berpikir keras. Dahinya berkerut, matanya memicing.
            ”Itu bakal memakan waktu lama. Tidak efisien. Kita giring mereka ke lapangan!”
            ”Dengan cara?”
            ”Emmmmm........” Otak si Kritis membuntu.
            ”Topeng Monyet!” Sahutku berapi-api memecah kebuntuan beberapa detik tadi. Si Bos Besar dan si Kritis terlonjak girang seolah-olah baru saja menemukan harta karun di dasar bukit. Mereka memelukku bergantian.
            ”Kau jenius, mari kita sewa seperangkat topeng monyet bapakmu,” puji Bos Besar. Si Kritis mengacung-acungkan jempolnya padaku.
            ”Tidak perlu disewa, untuk acara semacam ini gratis saja.”
            ”Horeeeeeee........,” sambut mereka. Keduanya melonjak-lonjak kegirangan di udara. Kemeja sekolah mereka berkibaran sampai mempertontonkan udel bodong si Bos Besar dan tanda lahir kecoklatan sebesar bulatan yoyo di perut si Kritis. Aku turut bahagia melihatnya sekaligus bangga telah secara langsung mendarmakan ide untuk aksi suci besok siang. Kami lalu bersiap-siap menuju ke sasaran utama yaitu bocah-bocah cilik, para calon menteri bahkan presiden – adik-adik kelas kami!

            Beres. Adik-adik kelas sukses diajak kompromi. Si Bos Besar menggiring adik-adik kelas dengan percaya dirinya menuju lapangan. Tak gentar, terus melaju menembus teriknya matahari. Kami berjalan diiringi pukulan-pukulan semangat dalam hati dan obrolan riang adik-adik kelas siang itu. Topeng monyet memang sebuah magnet yang memikat. Tak kusangka si Bos Besar cukup mumpuni memainkan permainan barunya. Padahal baru beberapa menit saja Tokei si monyet diasuhnya. Mereka sudah dapat berduet lengket satu sama lain. Aku dan si Kritis berjaga di belakang untuk meluruskan barisan dan menetralkan keadaan agar tidak kelihatan mencolok
            Sampai di lapangan si Bos Besar melarang si Kritis dan aku untuk mendekat ke lapangan. Ia menugasi kami untuk menjaga jalan kecil becek satu-satunya akses menuju lapangan untuk melindungi kerahasiaan misi ini. Aku dan si Kritis tak banyak membantah, padahal dalam hati kami ingin sekali terlibat bersama si Bos Besar menangani adik-adik kelas. Rasa penasaran merayapi dadaku, seandainya saja aku bisa melihat bagaimana lelaki mungil itu berkoar-koar di tengah-tengah lingkaran bayi kemarin sore itu dan semakin tampak heroik bersama monyet mungil yang bergelayut di bahunya. Dari tempat kami berjaga-jaga kami tak terdengar apapun kecuali gemerisik daun-daun yang bergesekan tertiup angin. Meskipun begitu, sekali dua kali terdengar suara kharismatik si Bos Besar diselingi tetabuhan topeng monyet membiuskan provokasi suci ke jantung hati adik-adik kelas.
            Tak lama bekerja dalam diam, konferensi lapangan yang dikepalai si Bos Besar usai juga. Adik-adik kelas kembali ke peraduan masing-masing. Di kepala mereka tertanam misi seragam untuk besok siang. Jalan mereka bergerombol sambil berkasak-kusuk tentang barang-barang apa saja yang wajib mereka bawa dan lagu apa saja yang harus mereka nyanyikan secara kompak. Jemari mereka menghitung, mata mereka menerawang ke masa depan, betapa gegap gempitanya besok siang, betapa terhormatnya mereka karena merasa dibutuhkan oleh orang yang lebih tua usianya dari mereka. Si Bos Besar memang hebat bukan kepalang!

            Tiba juga hari yang kami tunggu-tunggu. Hari eksekusi. Adalah harga mati untuk ikut berpartisipasi. Bahasa tubuh kami, para pemrakarsa demonstrasi mulai nampak berubah. Langkah kaki menjadi lebih cepat, lirikan mata lebih awas, kode-kode bermunculan tanpa ada kesepakatan sebelumnya – berjalan alamiah begitu saja. Si Bos Besar memberi komando agar kami tetap menjaga komunikasi satu sama lain agar rencana yang telah dirancang kemarin tidak jadi sia-sia.
            Usai shalat Jumat perut terasa nyeri karena teramat tegang. Para adik kelas satu per satu telah digiring menjauh dari pintu masjid oleh Aryo dan Sani. Sebelumnya Nunik dan Retno, petugas teatrikal telah mendarat di sekitar lapangan untuk membetengi properti demonstrasi seperti spanduk, bendera, dan ikat kepala. Ditambah Bayu, Dimas, dan Rosyid lengkap sudah pasukan teatrikal. Rencananya mereka akan merias diri di lapangan sekreatif mungkin. Entah ide apa yang tersimpan di kepala mereka berlima, aku tak tahu. Aku sendiri sedang disibukkan oleh kegugupanku. Ya, amanat si Bos Besar padaku untuk berorasi nampaknya begitu berat kupikul apalagi aku bukanlah orang yang pandai berspontanitas. Kertas yang berisi teks orasi buatanku mengusut, tapi masih dapat terbaca dengan jelas jika tidak panik. Semalam aku menulisnya dan memprakteknya di depan kaca. Rasa-rasanya tampangku memang lumayan cocok menjadi orator, tapi pada kenyataannya aku ini sangat pemalu. Si Bos Besar menyarankan agar aku tak perlu menghafal teks orasi buatanku, lebih indah membacanya dengan penuh percaya diri daripada menghafalkannya dengan ragu-ragu. Orator harus terlihat mantap dan bulat suaranya. Begitu sukarnya!
            Si Bos Besar menghampiriku, menepuk bahuku sambil tersenyum riang menunjukkan lipatan kertas orasinya.
            ”Siap?”
            Aku mengangguk.
            ”Tempatmu memang di bagian orasi. Aku tak pernah salah pilih.”
            Deg. Tiba-tiba kepercayaan diriku meroket. Kami berdua disusul si Kritis yang sibuk membenahi tata rambutnya melesat menuju lokasi eksekusi.
            Sebelumnya kami transit terlebih dahulu di lapangan. Aku mendapati keanekaragaman kreativitas bocah-bocah pemberani yang tertuang dalam  spanduk, ikat kepala, lebih-lebih tata rias para penyaji teatrikal. Seluruh properti turut berbicara. Dimas yang kali ini didaulat berperan menjadi kepala sekolah karena kemiripannya secara anatomis - tubuh mungil, jakun menonjol, pipi tirus, dan gigi jarang-jarang nampak membekali dirinya dengan doa-doa mustajab.
            Kami pun berangkat. Peluh dingin membanjir di dahiku, telapak tanganku licin, sepertinya aku membutuhkan kaos tangan tipis agar kertasnya tidak basah. Tapi si Bos Besar sama sekali tak memberikan kesempatan bagi peserta arak-arakan ini untuk berhenti walau sejengkal. Jika kaki telah dilangkahkan, tak ada waktu untuk berhenti -  menginterupsi jalannya demonstrasi. Aku diam saja tak berkutik. Saat peralatan dapur mulai ditabuh oleh para adik kelas sambil menyanyikan mars-mars enerjik, saat panji-panji demonstrasi yang bermuatan sindirian sarkastis diangkat tinggi-tinggi, saat si Bos Besar mulai pamer suara perutnya yang menggelegar, saat itu juga virus demam panggung mulai merayap di tenggorokanku. Harus bisa, ini misi suci!
            Arak-arakan kami telah menyerbu halaman sekolah. Ada sensasi gerrr di dada. Inilah medan tempur kami! Dari jendela ruang kepala sekolah peci yang dikenakan Kepala Sekolah menyembul, lalu dahinya mulai kelihatan, matanya, dan akhirnya seluruh wajahnya yang bersemu merah. Kepiting rebus! Sorakan bertambah riuh, sampai tak terdengar lagi lirik apa yang sebenarnya tengah kami lagukan. Para penampil teatrikal mulai beraksi dengan sepenuh jiwa. Luar biasa sekali penghayatannya. Baru setelah melihat gestur Dimas yang menyerupai dirinya, Kepala Sekolah angkat kaki dari kediamannya. Sebelumnya provokasi si Bos Besar mental saja.
            Kepala Sekolah memperlihatkan batang hidungya. Begitu marah hingga kumisnya yang tegas terangkat tinggi-tinggi. Matanya melotot seperti ada tenaga dari luar yang berusaha menariknya dengan benang-benang misterius. Ia menyaksikan semut-semut baja di depannya mengkritiknya habis-habisan! Ia yang dulu tangguh tak terperi kini ditelanjangi habis-habisan! Tanpa suara. Emosi Kepala Sekolah sampai pada derajat puncak. Tangannya mengepal. Kini giliranku mengikrarkan orasi. Aku agak gentar, tapi tetap kutegakkan tugas suci ini! Bla..bla..bla..bla..Kubaca dengan sepenuh hati. Aku mulai ketagihan! Berantas kedzaliman di muka kampung ini! Jangan biarkan kecurangan oknum menguasai kita – anak-anak bangsa, generasi penerus bangsa! Teriakan bocah-bocah yang mengamini membuatku semakin bersemangat. Aksi teatrikal – gulung-gulung di tanah, kepala sekolah bohongan menyabet pecutan, dan teriakan minta ampun, semakin membrutal, kini mereka tidak saja menghayati, mereka bahkan kesurupan! Oh, tidak, ini mengasyikkan. Semenatara itu si Kritis bersiap-siap membuka orasinya. Kututup orasiku dengan seruan improvisasi yang bahkan tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya : USIR KORUPTOR! BAKAR KORUPTOR! Sorakan ’Yo’ membumbung ke langit menyusul aumanku yang membakar isi dada Kepala Sekolah. Sekarang ganti si Kritis, ia sama kesurupannya dengan para penampil teatrikal. Kalimat-kalimatnya menohok, sampai yang tidak disindir pun ngilu mendengarnya. Merah sudah wajah kepala sekolah korup itu. Merah! Merah seperti banaspati!
            ”Diam!” gertaknya. Kami diam, bukan karena takut tapi memberi kesempatan padanya untuk melancarkan alibi. Kami tak sabar mendengar kebohongannya
            ”Kalian, anak kecil, tahu apa? Kalian pikir mengelola sekolah itu mudah?”
            ”Kami memang Cuma anak kecil. Tapi kami tidak bodoh, kami tahu kejahatan Anda!”
            ”Bedebah!” gertaknya. Tak sedikitpun kami gentar.
            Sepertinya hari ini Tuhan menepati janji kemudahan bagi manusia-manusia yang telah sekian lama teraniaya. Dari arah barat nampak Pak Kadus berjalan beriringan dengan guru Matematika kami, Pak Lutfan. Dua biji bilur biru kehitaman di dahi Pak Kadus bekas tahajud membuat kami optimis. Keduanya bingung seketika menyaksikan lautan manusia memenuhi halaman sekolah padahal hari ini bukanlah hari yang istimewa, hari Jumat biasa, bukan hari yang diperingati secara nasional. Keduanya berhenti. Kepala Sekolah terserang penyakit bisu seketika. Pak Lutfan dan Kepala Sekolah bersitatap, dua wajah yang kerapkali bersitegang usai rapat itu bertemu, sama-sama merona. Bisa dibilang pak Lutfan adalah satu-satunya guru yang bersih dari kata korupsi di sekolah kami. Namun sayangnya Tuhan belum menganugerahinya semacam keberanian untuk membongkar sindikat pengerat uang rakyat di tempatnya bekerja. Semoga saja hari ini beliau mendapat restu Tuhan untuk bersaksi di depan Pak Kadus.
            ”Apa yang terjadi,” ujar Pak kadus memecah keheningan. Matanya melotot melihat spanduk-spanduk nakal yang dibawa bocah-bocah. Salah satu yang paling mencolok adalah spanduk yang berisi tiga tuntutan pelajar : TURUNKAN SPP, TURUNKAN KEPALA SEKOLAH, BENAHI FASILITAS! Tiga tuntutan ini terinspirasi oleh peristiwa Tritura. Pak Luthfan diam beku. Sementara mata Pak Kadus meminta penjelasan segera. Pak Luthfan berdehem ringan. Akhirnya Pak Kadus menggiring Kepala Sekolah, Pak Luthfan, dan si Bos Besar menuju ke druang guru. Ada yang akan meregang nyawa! Si Bos Beasar mengacungkan tangan, menandai langkah awalnya menuju kemenagan. Kudeta!
            Sekitar lima belas menit menunggu yang rasa-rasanya seperti ratusan tahun bercokol di halaman sekolah mengiringi akar-akar mungil tanaman berubah serupa otot-otot raksasa, akhirnya si Bos Besar keluar dari ruangan persidangan. Wajahnya datar, menunduk seperti ada rantai yang membelenggu lehernya. Kami terpaku menunggu hasil keputusan persidangan. Jangan-jangan Kepala Sekolah berhasil membelot lagi. Jangan-jangan demonstrasi ini akan bubar tanpa hasil! Oh tidak, jantung kami berdegup keras terpacu ketidaksabaran. Si Bos Besar menghampiri kerumunan. Ia hirup nafas dalam-dalam. Dag dig dug.
            ”Kita harus menerima keputusan ini dengan lapang dada!”
            ”Apakah kita gagal?” tanya si kritis tidak sabaran.
            ”Ikhlaskan semua keputusan yang sudah disepakati.”
            ”Apa maksudnya?” si Kritis makin dibakar rasa penasaran.
            Si Bos Besar memberi jeda sejenak.
            ”KITA MENANG!”   Deg.
            ”Horeeeeeeeee......,”semua bersorak, saling memeluk, saling memukul dengan kasih, saling melempar benda-benda yang ada di tangan. Tak ada yang peduli lagi. Semua lepas kendali. Teriakan yang membahana ke langit sampai ke telinga Tuhan. Tuhan ikut tertawa.
            Si Kritis memberi aba-aba untuk menggendong si Bos Besar. Si Bos Besar yang tidak sigap terkaget-kaget kakinya mulai tak menyentuh tanah. Tubuh kecilnya dilempar-lempar ke angkasa. Bajunya berkibar-kibar, rambutnya berkibar-kibar, tawanya berderai. Pak Luthfan keluar dari ruang persidangan, wajahnya lebih cerah daripada yang biasanya. Matanya berkaca-kaca.
            Ia bersiap untuk bicara, deheman halus meluncur dari tenggorokannya
            ”Hari ini terurai sudah kejahatan di balik dinding sekolah reyot ini. Kini saatnya pembaharuan. Terimakasih anak-anakku. Kalian memang cerdas!”
            Pak Luthfan tak kuasa membendung air mata. Ia tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya lantas ia melangkah pergi menjauhi kerumunan. Mungkin Pak Luthfan punya cara tersendiri untuk menimati kebahagiaan yaitu dengan menyendiri. Sosoknya raib ke balik gedung. Kami merasa amat terharu. Tetapi dua detik kemudian kegegap gempitaan kembali membuncah mengisi siang yang beranjak sore itu. Menang!






           


Melangkah (Seorang Putra yang Diseleksia)


                         
Kau tidak normal. Dan kau membenci pesan tersembunyi di balik setiap deret huruf. Kau membencinya karena kau tak akan pernah berhasil memecahkan teka-teki deret huruf tersebut. Kau membencinya karena kau selalu menemukannya tiap kali kakimu menapak. Huruf menyerupai tanah. Huruf menyerupai udara. Huruf menyerupai air. Ketika kau sedang berada di puncak kebencian, kau tahu benar berarti kau juga sedang membenci kehidupan.
            Semua benda yang bergerak adalah huruf.
            Gravitasi adalah huruf.
            Film-film adalah huruf.
            Kau seringkali memimpikan huruf-huruf raksasa yang tak kau pahami tapi kau mengerti mereka mengejarmu untuk memakanmu. Kau berlari menghindari huruf-huruf gempal yang terbuat dari kapas berlapis beludru warna-warni. Mereka mainan masa kecilmu yang kau buang ke tempat sampah, gudang belakang rumah, kolong meja dan tempat tidur. Kau berlagak tak membutuhkannya karena kau merasa sudah cukup adil memperlakukan mereka dengan kebencianmu yang sungguh dalam. Kau pikir mereka juga membencimu, bahkan sebelum kau membenci mereka. Dan tak ada niatan untuk berbaikan. Tak ada niatan untuk menguji seberapa tangguhnya dirimu lagi bersanding dengan mereka.
            Ibumu sudah berhenti memaksamu untuk membaca. Tapi kau menangkap matanya senantiasa memburumu dan berharap : Bacalah, bacalah, bacalah!  Pelukannya yang cuma-cuma terasa begitu rapuh. Wajahnya datar, terkadang memelas. Ia tak pernah lagi marah padamu, tak juga bersikap terlalu manis. Kau merasa ibumu berusaha keras menahan diri untuk tak memaksamu melakukan hal-hal yang tak kau kehendaki. Meskipun itu baik bagi dirimu? Mungkin. ibumu hanya sekali-kali mengucap kata ’jangan’ atau ’tolong hentikan’ selebihnya ibu hanya tersenyum dan mengawasimu diam-diam lewat mata ayamnya. Mata ayam – yang kau rasa adalah salah satu bentuk sikap antisipatif ibu agar di matamu dirinya tak akan pernah lagi bertindak terlalu protektif dan agar terbangun dalam dirimu kepercayaan diri yang sekuat beton. Kau bisa hidup bahkan tanpa huruf sekalipun.

            Hari ini adalah hari ulang tahun adik perempuanmu. Ia genap berusia lima tahun. Keluarga besarmu berkumpul untuk menghadiri pesta di kebun samping. Kue tar raksasa tersaji di atas cawan bundar bermotif. Kue yang mewah dengan hiasan coklat dan krim warna pelangi di bagian atasnya. Pembuat roti menuliskan huruf dengan krim dan coklat bulat pipih yang disusun secara vertikal dan horizontal mirip angka yang tertera di kalkulator ayah. Sebuah lilin berbentuk seperti ular tanpa kepala dinyalakan oleh ibu. Adik perempuanmu meniupnya penuh gairah di sela-sela nyanyi riang hadirin pesta yang memakai topi kerucut dan beberapa di antara mereka memasang hidung badut yang merah merona. Semua bertepuk tangan tanpa terkecuali kau ketika adik perempuanmu berhasil membacakan dengan lancar dan penuh percaya diri tulisan yang terbuat dari krim dan coklat pipih. Ibu dan ayah tertawa bangga kemudian satu persatu menciumi pipi adik perempuanmu. Kau tak ketinggalan menciumnya meskipun bercampur pahit. Ia lima tahun. Kau tujuh tahun. Tapi ia telah mengalahkanmu dalam segala hal hanya karena kau tak bisa membaca sebaik dirinya.
            Kau teringat ketika kau seumuran adik perempuanmu. Sebenarnya ulang tahunmu jauh lebih meriah dari ulang tahun adik perempuanmu. Lebih banyak keluarga yang datang, lebih banyak kado, dan lebih banyak kudapan. Tapi semua tampak abu-abu ketika kau selesai meniup lilin. Kau tak bisa membaca apa yang tertera di atas kue ulang tahunmu. Itu gila. Kau ingin mengacak-acak huruf-huruf dari krim itu dan menyisakan gambar kartun dirimu yang memakai baju kesebelasan favoritmu dan ayah di bagian pojok kue. Saat orang-orang berharap kau akan membacakan kalimat harapan di atas kue, diam-diam kau mengutuk dirimu sendiri, kau ingin berlari lalu sembunyi di manapun sampai mereka tak bisa melihatmu lagi. Kau begitu malu. Ayah pengertian, ia lantas menggendongmu dan membacakannya untukmu dan hadirin pesta. Semua bertepuk tangan seakan-akan kaulah yang telah menyelesaikan kalimat-kalimat harapan di atas kue. Ayah berkata pada hadirin bahwa kau sering gugup jika berdiri di hadapan banyak orang. Ayah bohong. Seratus persen ayah bohong. Saat tatapan ayah dan ibu bertemu ibu hanya bisa memberikan senyum pasrah dan gedikkan ringan di bahu.
            Sejak saat itu kau pikir ayahlah satu-satunya manusia yang paham benar keadaanmu, menyayangimu, dan menjadi payung pelindungmu. Cuma ayahlah yang bersedia memberikan ciuman selamat malam, menggendongmu, memuji lukisan-lukisanmu yang sebagian besar berwarna monokrom, dan menemanimu jalan-jalan sambil membacakan tulisan-tulisan di baleho-baleho besar agar suatu hari nanti ketika kau pergi sendiri kau tahu tempat apa itu. Kau diajaknya ke tempat-tempat istemewa yang seakan-akan Tuhan menciptakannya hanya untukmu dan ayahmu. Kau digendongnya dengan lembut dan dibisiki kalimat-kalimat penumbuh rasa percaya diri. Kau menyentuh pipinya dan berharap dalam hati jangan sampai ayahmu mati. Ayahlah satu-satunya guru yang membuatmu merasa huruf-huruf bukanlah momok, mereka hanyalah sekumpulan simbol-simbol yang memang kecil kemungkinan bisa menempel di otakmu dan bertahan di sana untuk waktu yang lama. Meskipun begitu di dekat ayahmu huruf-huruf tidak menakutkan, kau tak perlu menangis karena tak mampu berkompromi dengan mereka
            Ketika kau terbangun dari mimpi burukmu tentang huruf-huruf raksasa kau mendengar ibu dan ayahmu bertengkar di dapur. Kau tahu pasti mereka ada di dapur karena dapur adalah ruangan paling ujung di rumahmu dan terjauh dari kamar tidurmu – karena mereka tak ingin kau mendengar apalagi tahu menahu apa yang mereka pertengkarkan. Suara mereka dipelan-pelankan, tapi kau tetap bisa mendengar dengan jelas namamu disebut berulangkali baik oleh ibu atau ayahmu. Yah, namamu. Jarang sekali nama adik perempuanmu yang disebut. Apakah karena ia baik-baik saja? Sempurna? Apakah karena di rumah ini kau yang selalau menimbulkan bencana? Apakah karena kau tak bisa membaca sebaik dia? Itu tidak adil. Kau menangis. Kau bekap wajahmu dalam-dalam pada bantal agar tak seorang pun mendengar isakmu. Supaya tak seorang pun mengusikmu. Lagi-lagi kau mengutuk dirimu sendiri. Sementara pertengkaran ibu dan ayah nampaknya semakin panas. Rupanya di belakangmu ibumu masih menuntutmu. Masih. Dan itu pasti akan sangat berat bagimu menuruti kemauannya.

            Paginya saat sarapan di dapur ibu memberitahumu bahwa kau harus kembali ke sekolah minggu depan setelah sempat putus sekitar satu tahun. Segalanya akan lebih baik, janjinya padamu. Ia mengusap kepalamu, menciumnya lalu mengoleskan margarin di atas rotimu dengan penuh kesabaran. Matanya cekung dan gelap bekas kemarahan semalam. Adik perempuanmu berjingkrak antusias dengan rencana kembalinya kau ke sekolah. Ya, dengan kembalinya kau ke sekolah itu berarti kau dan adik perempuanmu akan bersama-sama menunggu jemputan ibu di halaman sekolah yang akan kau khawatirkan sebagai panggung aksi pamer adikmu akan kecakapannya membaca kalimat-kalimat pada buku cerita bergambarnya. Kau akan membenci detik-detik berada di samping adikmu yang tak bosan-bosannya menyanyikan lagu Alfabet dan membentuk jari-jari mungilnya sedemikian rupa agar menyerupai huruf-huruf yang mampu ia hafal lima macam per menitnya.
            Kau juga akan membenci waktu mandi yang terlalu pagi, teman-temanmu yang cerdas, gurumu yang kau rasakan sapaan manisnya hanya kebohongan belaka, loker tempat barang-barangmu disimpan, dan tumpukan buku.
            Ayah muncul dengan wajah kusut yang ditegar-tegarkan. Seperti biasa ia menyapamu dengan tinju kecil di lengan. Ia telah kalah semalam. Saat melihat matanya kau ingin mengadu betapa takutnya dirimu dengan semua yang akan kau hadapi di sekolah. Tapi di dekatmu juga ada ibu. Kau takut padanya. Sejak kapan kau takut padanya? Kau berpikir mungkin kau takut karena kau telah kehilangan kasih sayangnya yang seakan-akan hanya tercurah pada si normal adik perempuanmu. Kau takut padanya karena mungkin ia tak lagi percaya padamu sejak kau sering pingsan di kelas karena terlalu takut dengan papan tulis dan pelajaran-pelajaran yang semuanya memakai huruf di dalamnya. Ia mengira kau pura-pura pingsan agar bisa cepat pulang ke rumah karena setelah dibawa ke dokter kau tak didiagnosa suatu penyakit apapun. Tapi kau benar-benar pingsan – karena kau tak bisa membaca dan takut. Kau tak pernah berbohong soal itu.
            Kau ingin menangis di pelukan ayah. Tapi  ibumu  segera menyergah sebelum air mata pertama menyembur. Ia menanyakan apakah kau bersedia atau tidak untuk kembali ke sekolah. Kau terdiam beberapa saat. Mulutmu terkunci rapat. Kau tahu pada akhirnya kau harus berkata ’ya’. Kau berpikir mengapa ibumu harus bertanya ya atau tidak? Ayah dan adik perempuanmu menunggu jawabanmu. Ada dua sisi. Ayah berharap agar kau tetap tinggal di rumah. Adik perempuanmu berharap minggu depan mendapatkan teman baru yang akan ia tunjukki betapa cerdasnya dirinya.
            Kau mengangguk lemas. Setelah itu cepat-cepat kau tinggalkan sarapan pagimu. Kau ingin keluar mencari udara bebas sebelum segalanya terenggut secara menyakitkan minggu depan. Kau tak bisa menebak apa yang akan terjadi minggu depan!

            Ayahmu menghampirimu lantas mendekapmu. Kau menangis sekeras-kerasnya. Ia menepuk-nepuk punggungmu berusaha mengalihkan semua rasa takutmu. Lalu ayahmu mulai bercerita tentang dirinya. Saat ia seumuran denganmu ia sering pergi memancing ke laut bersama kakak perempuannya. Suatu hari cuaca buruk, ayahmu dan kakak perempuannya tetap pergi memancing karena hari itu mereka ingin menghadiahkan ikan terbesar untuk ayah mereka yang sedang berulang tahun. Naas, kakak perempuan ayahmu terseret ombak. Hilang. Mati. Sejak saat itu Ayahmu takut dekat-dekat dengan lautan. Tapi Ayahmu berusaha memaksakan dirinya untuk menghapus rasa takutnya. Ia ingin sembuh. Pada akhirnya ayahmu berhasil mengalahkan rasa takutnya setelah bertahun-tahun mencoba mengubur kenangan buruk itu. Dan kau lihat, di hadapanmu, seorang lelaki tangguh yang mengajarimu tinju dan karate di ring mini di kebun belakang, yang saat kecil takut dengan laut adalah seseorang yang kini bekerja sebagai nahkoda pengantar penumpang ke pulau seberang. Hatimu luluh.
            Kau tersenyum pada ayahmu. Matanya berbinar. Kau berjanji akan berusaha menyamai tekadanya, keberaniannya. Kau berjanji akan menghadiakan keajaiban untuk dirinya, ibumu, dan adik perempuanmu.









Sabtu, 19 Maret 2011

Rock Serta Roll

























      Ini memang bukan sebuah kebangkitan diri yang berarti bagi saya. Ini hanya sebuah hiburan yang ditujukan kepada saya ketika saya tidak bisa cocok menerima sebagian besar apa yang saya dengar, yang saya baca, yang saya lihat dan yang mereka kenakan. Rasanya manis. Rock N’ Roll. Invasi anak-anak hair metal 80an ke otak saya. Saya senang sekali layaknya anak kecil yang diberi gula-gula berwarna mencolok. Terkadang saya merasa bahwa saya adalah siswi terkeren di sekolah saya karena saya lain daripada yang lain. Mereka mungkin tidak tahu apa yang saya tahu, tapi saya juga tidak tahu apa yang mereka tahu. Mati mode!!!!!!!Mungkin saya culun di mata kumpulan anak-anak gaul, saya juga tidak terlalu berbakat di mata anak-anak multitalenta. Entahlah, hanya saja saya merasa bahwa saya adalah gadis yang beruntung.
     Teman saya yang saya juluki ‘Slash’ adalah anak bertangan ajaib. Itu harus diakui karena jemarinya seperti memperagakan tari golek Sulung Dayung jika sedang memetik gitar. Slash masih sebaya dengan saya, tapi bakatnya sudah tak tertahankan. Saya suka bercakap-cakap dengan orang-orang sebaya saya yang telah saya kenal, dan di dalam percakapan saya berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat bodoh di mata lawan bicara saya. Ya, tidak perlu terlalu panjang, dari Slash saya punya keinginan kuat utnuk mengetahui banyak tentang Rock n’ Roll masa lalu. Saya memulainya di rumah dengan MP3 bajakan The Rolling Stones yang saya beli hanya dengan harga 6000 rupiah saja. The Rolling Stones memenuhi persyaratan saya lewat tembang Angie. Jujur, saya suka sekali lagu cinta(mungkin ini yang membuat saya terlalu Telenovela). Seiring waktu berjalan, referensi saya mengenai The Rolling Stones bertambah

    


(tulisan ini sebelumnya diposkan di halaman earleetommy.blogspot.com - The Story of Aya akhir tahun 2008, kemudian coba dihadirkan ulang di alamat blog baru saya untuk sekedar mengenang masa SMP yang genting dan kontradiktif)

Mereka Ada di Gerbang yang Sama

Kurt melayangkan seringai tipis ke arahku
Lantas ia berkata : I hate myself....I want to die
Aku bungkam tapi aku tahu ia benar
Kualihkan pandangan, di sana terduduk seorang Joplin
Joplin yang telanjang
Joplin yang memainkan asap suatu produk depresan
Joplin yang menimbang-nimbang abu kematiannya
yang dilarutkan ke Pasifik
Ia berkata : I am extraordinary. No one like the ordinary
Aku mengangguk damai
Seseorang menepuk pundakku
Tangan legam seperti timah hitam
Jimmy, pekikku
Hendrix yang ajaib
Sambil membetot senar tergemuk ia menyeru : Passion!!!!!
Aku tertawa 
Sampai rahangku serasa meletus
Itulah mereka dalam mimpiku

Blues dari Tuhan

Blues mengerang dalam ruangan ini
Riuh dan kental....
Membasah pada dinding malam
membentuk bintik-bintik menyala pada raut wajah rembulan
Ini malam kita......
Kalau kau membisikkan nama Ali Farka dan Eric Clapton 
Mengapa pianonya terdengar seperti pekikan UFO??
Seharusnya ditambah didgeridoo meningkah kasar nyanyi gitar

Blues terus mengerang, lebih sakit lagi
Lenganku terinjeksi...secara ajaib
Lalu muncul di hadapanku bianglala raksasa
Aku naik, dari atas bisa kulihat biru Malibu dan kubau kopi Brazil
Kujilat Spinx, dan aku menari di depan dewa-dewi Yunani

Blues terus mengerang......
Sayangnya langit mulai terbakar
Surya bangsat!!!!
malam habis....
Blues kemudian terbunuh

Kau lenyap dari bantalku, meninggalkan kehangatan tipis belas regkuhan tubuh
Punggung dan kepala....
Bianglala...
Semua hilang setelah blues terbunuh
Hilang sempurna

Kenangan dari Almarhum Pemberontak yang Baik Hati

“Di dalam dada Tuhan, di dalam naungan cahaya terlembut yang pernah menyentuh mataku, namamu kusebut. Untuk yang pertama kali dan seterusnya. Kau yang menari di atas permukaan bumi, lihatlah bahwa jiwa kita sedang bersenyawa dengan air, tanah dan udara. Kita adalah anak alam, anak suci berbelati dan pemberani. Bunuhlah yang bersalah, sayang. Jangan ragu!!!!! Anak-anak kita yang lapar namun berbahagia, persenjatai mereka, sayang, dengan cinta, pemberontakan dan kehidupan yang benar-benar hidup di dalam hati mereka. Di sini aku memantaumu dengan jelas, ingin kulihat perjuangan, gelora persatuan dalam api maupun kepulan asap. Dan sekali lagi, aku adalah kain yang mengikat kepalamu dan anak-anak kita ketika kalian berteriak serta mengacungkan kepalan tangan!!!!”


Ayah dari ketiga anakmu


Berbenahlah, hari ini juga, berbenahlah meskipun kau berbenah untuk berdarah. Kertas kecil yang kujaga benar-benar kehalusannya sampai tak ada sesentipun yang robek maupun kucel ini mulai bereaksi. Seperti efek obat bius yang mengaliri urat sarafku. Tidak ada ketakutan, hanya ada gejolak tentang maukah kau hidup dan sudikah kau untuk mati. Barisan huruf berantakan dalam surat tadi masih berpidato di otakku. Lantang sekali, seperti hymne kaum buruh, seperti gebukan beribu-ribu drum. Aku tidak bohong soal ini, aku sangat pemberani.
Hanya untuk suamiku…………semua terdengar khayal. Srikandhi hanya ada dalam cerita, tapi ternyata banyak terlahir jelmaan Srikandhi di dunia nyata. Kata suamiku, kemungkinan salah satunya adalah aku………katanya juga aku harus mulai ditempa. 
Kami sudah siap. Tekad membusung di dada. Tidak ada setetes pun keraguan di hati kami. Inilah jalur yang harus kami tempuh, yang harus kami lewati tanpa keluh. Seandainya kami hanya berdiam diri tentu kami akan mati terinjak-injak di atas tanah kami sendiri, di antara bangkai sahabat-sahabat senasib kami. Kata suamiku itu menyakitkan, yaitu ketika hak kita dipangkas. 
Tiga bulan yang lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya. Satu bidikan, tepat di uluh hatinya. 
Polisi menangkapnya ketika ia dan sepuluh kawannya tengah membahas soal demonstrasi kedua. Tak satupun dari mereka yang menyangka bahwa kerahasiaan pertemuan itu bocor. Aku sendiri juga tidak menyangka akan hal itu. Akibatnya demonstrasi kedua batal, malam hari itu juga kesebelas perancang strategi digiring ke kantor polisi. Sebagian saksi melihat bahwa mereka yang tertangkap ditelanjangi dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka berjalan dipandu oleh pentungan-pentungan berat para polisi, beberapa di antaranya yang mencoba melawan dicambuk dengan rotan. Entahlah, semoga ketika itu Tuhan melindungi suamiku sehingga dia mampu menahan letupan emosinya. Aku tahu benar bahwa jiwanya bermasalah, dan aku tahu benar bahwa dia seringkali kehilangan kontrol emosinya pada saat-saat kritis. 
Selama seminggu mereka ditahan tanpa proses peradilan. Itu sangat menyiksa batinku. Kelompok kami mulai bereaksi terhadap kepincangan hukum pemerintah ini, namun tidak ada reaksi balik. Kami merasa dibodohi. Di sini kebencian kami terhadap rezim ini semakin berkarat. Dan ketika vonis hukuman mati dijatuhkan kami hanya bisa mengutuk mereka yang berwenang, kami sempat kalap, namun sia-sia saja, penangkapan anggota-anggota kami semakin meluas. Gerak kami dipersempit. 
Rezim ini memang kejam. Menggilas kami dengan roda-roda militerisme yang kejam dan kaku. Sejak awal berdirinya kekuatan busuk ini, kami mulai terorganisir oleh sesuatu yang menjijikkan. Kami hidup dinaungi ketakutan akan drakula-drakula gentayangan atau sekelompok psikopat gila, dan sampai pada suatu saat ketika masa lalu kami ditelisik sampai tuntas, mulai terlihat sebuah teori kejam yang akan segera diberlakukan. Garis keturunan kami diusut. Yang berdarah orang-orang bermasalah pada dua rezim sebelumnya mulai diperkosa hak-haknya. Tentu ini adalah sebuah masalah besar. Sejujurnya suatu tindakan yang salah mempercayai adanya dosa waris, Tuhan pun mengharamkannya. Ketika kebenaran itu coba diusung oleh para pendahulu kita dan itu gagal, apakah itu yang menyebabkan kita harus terkena getahnya???? Apakah dosa masa lalu perlu dibangkitkan lagi kepada wajah-wajah anak-anak para pendosa???? Dan sesungguhnya posisi para pendahulu kami adalah sebagai warga negara yang merindukan memanen padi di sawah sendiri, dan meminum air dari sungai kami sendiri. Sekarang kami ada di posisi yang sama. Itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun sampai segalanya terpenuhi. 
Ya, kini aku berdiri, di hadapan anak-anakku, sebagai ibu mereka, membiuskan doktrinasi. Tidak boleh takut, tidak boleh merengek, tidak boleh mengeluh. Haram!!! Kubisikkan pada mereka satu per satu. Bulat juga tekadku hari ini. Jangan pedulikan gas air mata, pedulikan harga dirimu yang harus kau rampas kembali, jangan kau pedulikan peluru-peluru liar menerjang, pedulikan ayah-ayahmu yang menghadap para algojo di tengah malam itu, jangan pedulikan pukulan rotan atau gelonggong kayu, pedulikan bahwa kau adalah yang berhak atas dirimu sendiri dan bukan orang lain, pedulikan nenek moyangmu yang hidup bercokol di atas tanah dosa berdarah, tanah fasis yang disumpah serapahi oleh Tuhan. Amin.
Kami berangkat, itu saja. Tenang sekali langkah kami.

Rabu, 22 Desember 2010

SATRIA

Sahabat-sahabatku adalah para menteri kebumian
Yang kebijakannya mencekik leher para kriminil lingkungan
Sahabat-sahabatku adalah detektif tanpa lisensi
Memata-matai gerak-gerik para monster
Yang kakinya berbentuk gergaji dan tangannya pukat harimau
Sahabat-sahabatku adalah dewa-dewi bumi
Yang dengan kasihnya, menderma bakti pada tanah
dan samudera, sampai ia kering dengan sendirinya
Sahabat-sahabatku adalah para penyambung lidah
Antara generasi ini dengan generasi nanti
Antara tuntutan para calon bayi penghuni negeri
Kepada moyangnya - agar jangan hilang akal
Sahabat-sahabatku adalah para dokter alam
Yang bakal menyuntikkan lagi ramuan
Yang bakal merawat bumi
Yang tahu cara membuatnya keluar dari sangkar agoni
Yang membidani, menjadi saksi, kelahiran putra semesta
Hijau, segar, anggun, pantas dilihat sampai ribuan tahun lagi