“Tidak
benar bahwa acara membolos kita siang hari ini bertujuan untuk mencederai masa
depan kita. Siapa bilang seperti itu akan kupotong jarinya. Kelima-limanya. Aku
tak main-main. Siapa berani mengadu akan kusobek mulutnya. Kita di sini justru
demi menyelamatkan masa depan kita,” ucapnya lantang, teguh dan berapi-api.
Lengkap
sudah. Aku bertanya-tanya dalam hati, dalam kekagumanku terhadap siratan pesona
lelaki berkulit bersih di hadapanku, sejak kapan ia belajar menjadi seperti
Bung Karno? Aku tak mampu membantah, bukan karena aku takut ancaman potong jari
atau robek mulut yang ia lontarkan – aku tahu benar ia hanya sesumbar, aku
hanya takut namaku akan dicoret dari daftar pembela setianya yang seolah-olah
rela berharakiri massal demi keselamatannya. Memang ukuran tubuhnya tergolong
mini bahkan mungkin ia akan dengan mudahnya rubuh sekali libas tapi kharismanya
tak tertandingi
“Ayo kita bersama-sama menuntut keadilan. Kalau tak segera dituruti kita segel
gedung sekolah ini, kalau perlu kita bakar sekalian!!!”
Teman-temanku
bersorak menyambut ajakan anarki ”nabi” mereka dan kucing bernama Poki, ”totem”
mereka mengeong penuh gairah mendengar semangat muda para darah juang yang
merasa mereka telah terbuang oleh bangsanya sendiri. Pendidikan mahal,
ujung-ujungnya uang yang disetorkan dengan cara memeras keringat sehari semalam
mengalir ke kantong oknum-oknum busuk dan gemar omong kosong. Menyakitkan.
Bohong soal renovasi gedung induk, tembok-temboknya keropos tak rata seperti
muka bulan. Bohong soal pembangunan mushola, hari berganti hari aku dan
teman-temanku tetap shalat di atas lapangan serba guna bahkan di atas meja
kelas kalau hujan datang melembekkan tanah lapangan, wudlu juga masih kesulitan
karena airnya tak steril, keran mengalir ogah-ogahan, warna airnya pun seperti
pipis para koruptor. Aku dan teman-temanku terpaksa harus mengantre dulu
sebelum bertemu dengan Tuhan padahal jatah istirahat cuma 15 menit. Siapa telat
guru diktator siap melaknat!
Dan
di tempat ini, di pinggir selokan yang penuh muntahan sampah rumah tangga aku
dan teman-temanku dipimpin si Bos Besar merencanakan demonstarsi besar-besaran
Jumat besok. Rasanya bergemuruh di dada karena bagi umat Islam hari Jumat
dianggap lebih sakral dari keenam saudaranya yang lain. Demonstrasi menuntut
realisasi pembangunan akan dilancarkan seusai shalat Jumat bakal membawa aura
tersendiri bagi aku dan teman-temanku. Di otakku demonstrasi besok mengangkat
pesan suci dan mendalam serupa jihad menghancurkan orang-orang kafir yang
merebut tanah para muslim di belahan bumi sana.
Si
Bos Besar nampak berkerut keningnya memikirkan strategi, ia tak ingin
kesempatan kedua menjajal kepemimpinannya untuk menaklukan ”tirani” gagal di
depan para pengagum setianya. Ia ingin kepala sekolah yang busuk itu mau
membuka mata kemudian turun tangan melaksanakan tuntutan para demonstran.
Bahkan aku menangkap si Bos Besar bermaksud lebih jauh lagi yaitu melakukan
kudeta terhadap kursi pemerintahan kepala sekolah. Sedikit bercerita,
kesempatan pertamanya terjadi sekitar tiga bulan yang lalu dan sekaligus
menjadi kegagalan pertamanya yaitu melengserkan guru Bahasa Indonesia dari kota
yang memaksa siswa membeli LKS dengan harga dua kali lipat. Barangsiapa yang
tidak membeli diancam dengan angka merah yang memerahkan telinga bapak ibu kami
di akhir tahun.
”Ingat
satu hal tentang filosofi sapu lidi!”
Aku
dan teman-temanmu mengangguk khidmat.
”Kita
akan menjadi angkatan pertama yang mematahkan kebengisan oknum-oknum tak
bermoral di balik kebobrokan sekolah ini!!!! Kita akan menjadi bagian dari masa
depan adik-adik kelas kita – para calon menteri bahkan presiden!!!!”
Semua
bersorak dari hati yang paling dalam. Ia sungguh berbakat, batinku.
”Lalu bagaimana teknisnya,” tanya salah
seorang dari teman-temanmu. Orang nomor dua setelah si Bos Besar. Suaranya
serak seperti menahan dahak di tenggorokan. Di antara yang lain ia memang yang
paling kritis dalam menerima kebijakan-kebijakan si Bos Besar. Ia juga yang
paling terfasilitasi ketimbang teman-teman yang lain meskipun hanya berupa
sepeda karatan merk Cina. Orangtuanya bekerja di luar kota, ia hidup di desa
dengan neneknya seorang. Sepeda karatan itu selalu dipuji-puji si Bos Besar
sebagai alat pelancar mobilitas gerakan ”murid-murid spesial” pimpinannya.
Sebelum
menjawab pertanyaan anak itu si Bos Besar berpikir beberapa detik. Anak buruh
tani miskin itu lantas tersenyum sambil menjentikkan jari, ”Sebelumnya kita
harus memastikan bahwa pertemuan kita siang hari ini bersifat rahasia. Sudahkah
aku bilang pada kepala sekolah sialan itu bahwa Bu Karni memberi tugas luar
kelas pada kita untuk mencari kodok buat praktek besok pagi,” tanyanya pada
salah seorang kaki tangannya yang berbadan gempal. Anak itu mengangguk
yakin,”Ok. Bagus. Berarti langkah pertama kita sukses. Langkah kedua adalah
nanti sore kita akan buat spanduk, ikat kepala, dan bendera kecil-kecil untuk
ditulisi tuntutan-tuntutan kita kalau perlu olok-olokan untuk si tua bangka
itu! O ya, aku, aku butuh lagi sepedamu untuk pinjam pengeras suara di balai
desa. Nanti pinjamnya atas namaku. Tenang saja, jadi kalau ada kerusakan biar
aku yang menanggung.”
Dadanya
membusung, hidungnya kembang kempis. Ia nampak heroik berorasi dengan sengatan
matahari dari balik punggunya. Kepalanya yang lonjong seakan terlindung oleh
praba. Diam-diam aku mulai menyusun rencana agar demonstrasi besok sepedas demo
para mahasiswa di kota-kota besar seperti yang aku lihat di televisi setiap
malam minggu sebelum jam sembilan malam di balai desa. Ada api, ada jejogedan,
ada nyanyian, dan ada aksi meremukkan pagar. Aku mengacungkan tangan. Si Bos
Besar mengangguk mempersilakan aku untuk memberi usul. Meskipun terkesan
otriter ia tetap demokratis.
”Bagaimana
kalau ada bakar-bakaran seperti yang kita lihat di televisi?”
”Ide
bagus,”serunya.
”Bagaimana
kalau ditambah dengan yel-yel dan jejogedan? Kita pakai alat-alat masak ibu kita untuk membuat
musiik rakyat yang sarat dengan kritik!!!”
”Brilian,”pujinya sambil menepuk pundakku
penuh simpati dan rasa bangga yang dalam. Aku tersanjung. Orang-orang di
sekitarku mengangguk-angguk sempurna mengiakan buah pikiranku. Mereka mungkin
agak tak percaya bocah kecil sepertiku bisa memberikan ide yang disetujui oleh si
Bos Besar. Aku termasuk anak yang pendiam dalam perkumpulan para pemberontak
tengil ini.
”Baiklah,
usulmu sungguh hebat. Tinggal kita pikir bagaimana strateginya. Yang pertama
untuk melakukan bakar-bakaran tentu kita membutuhkan bahan bakar yang cukup
banyak. Paling tidak dua jirigen lalu kayu bakar sekian potong. Soal kayu bakar
aku yakin kita bawa sendiri dari rumah secukupnya. Untuk minyak tanah kita akan
patungan uang untuk membelinya di warung. Setuju?”
”Setuju!!!”
Seru para calon demonstran cilik.
”Bagus.
Sekarang yang kedua, aksi
jejogedan musik rakyat. Kita cuma 15 anak. Itu tidak memungkinkan untuk membuat
keriuhan yang dahsyat besok, karena sesuai rencana aku akan membagi 15 anak itu
yang pertama untuk berorasi sebanyak 3 orang termasuk aku, yang kedua untuk
aksi teatrikal 5 orang, yang ketiga 3 orang untuk mengibarkan bendera merah
putih, dan sisanya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan membawa spanduk
dan membuat bebakaran. Terpaksa kita harus melibatkan adik-adik kelas kita
untuk aksi besok.”
Si
Kritis lantas mengacungkan tangan.
”Tetapi
mereka masih terlalu bocah untuk ikut ke dalam aksi kita. Mereka masih lugu
sekali. Tak tahu apa-apa! Kasihan mereka nanti.”
Si Bos Besar menggeleng-geleng
tanda tak sependapat dengan usulannya. Ia tersenyum,”Begini, saudaraku,”katanya
sambil merendahkan suara,”Apa kalian belum pernah melihat perjuangan anak-anak
di Jalur Gaza? Mereka yang masih seumuran adik-adik kita bahkan lebih kecil
lagi berani mengangkat ketapel melawan tank-tank Israel. Aksi kita tak ada
apa-apanya dibandingkan dengan aksi bocah-bocah pemberani di jalur Gaza!”
Semua
terdiam beku. Si Bos Besar benar. Kami merenungi nasib saudara-saudara kami di
Gaza yang bahkan rela mati demi membela tanah air mereka. Kami menyaksikan bersama-sama Palestina yang
membara dari layar kaca beberapa bulan silam. Masih segar di memori kami akan raut wajah
takut, tangis, darah, dan nyawa teman-teman kami yang sebegitu mudahnya
terenggut. Kami tersentuh. Kami mengutuk. Kami juga terjangkit inspirasi agar
menjadi seberani mereka – memang bukan untuk memperebutkan sumber air atau
tanah yang kian hari kian dijamuri pemukiman liar para Yahudi tapi untuk
pendidikan kami yang ujung-ujungnya untuk tanah air juga. Kami di sini satu
misi dengan teman-teman di Palestina yaitu membebaskan diri dari penindasan.
”Kalau begitu sekarang kita susun strategi
untuk aksi besok. Jadi setelah salat Jumat selesai kita keluar satu per satu. Yang
pertama kali bergerak menuju lapangan adalah yang duduk di shaf paling
belakang. Agar tidak mencurigakan bergerak satu per satu dengan selang waktu
agak lama. Kalian pasti bisa mengira-ngira. Aku akan duduk di shaf paling depan
besok karena aku ditugasi jadi muadzin oleh Pak Ustadz. Ingat jangan terlalu
berisik. Tapi jangan semua menuju ke lapangan,beberapa orang mengambil
perlengkapan di gudang rumahku dan beberapa lainnya mengkoordinir adik-adik
kelas kita karena bukan tidak mungkin mereka lebih sulit diatur daripada kita!”
”Berapa
orang?”
”Untuk
mengambil perlengkapan empat orang saja. Nanti pulang balik juga tak apa. Untuk
yang mengkoordinir dua orang saja, kamu dan kamu, kupikir kalian berkemampuan
untuk mengambil hati anak-anak kecil. Nanti aku susul kalian, jadi kita bertiga berangkat bersama anak-anak itu
ke lapangan bersama.
Nah
sekarang saatnya kita bagi tugas untuk pra aksi. Yang kutunjuk tolong
mengacungkan tangan kemudian berdiri di sebelahku.”
Jantungku berdetak cukup keras menanti
perintahnya. Apapun tugasku aku akan melakukannya dengan sepenuh hati. Di sini
kami, anak-anak, berjuang bersama demi kepentingan bersama.
”Bayu,
Rosyid, Dimas, Retno, dan Nunik, maju ke depan! Kalian bertugas untuk membuat adegan tetrikal.”
Kelimanya
maju. Retno dan Nunik bergandengan tangan menyelaraskan maksud. Keduanya agak
malu-malu, namun entah mengapa terpancar kesukacitaan yang kuat pada mata
bening mereka. Bos Besar tak pernah salah memilih orang-orang kepercayaannya.
”Ok,
sekarang kalian boleh pergi dari tempat ini untuk mempersiapkan aksi kalian
besok. Kita semua berharap kalian berlima bisa tampil sebaik mungkin besok.”
”Siap!”
tanggap kelimanya. Mereka lantas berlari meninggalkan kerumunan. Kaki-kaki
kokoh mereka menciptakan debu tipis di sekeliling pasukan itu.
Aku
menunggu giliranku dipanggil si Bos Besar. Sementara yang lain telah berpencar
ke berbagai arah guna menunaikan tugas suci masing-masing. Kini yang masih
tinggal di tepi empang bau ini hanyalah si Bos Besar, aku, dan si Kritis.
”Ini
tugas penting, kamu,” tunjuknya ke dadaku,” kamu berperan vital dalam
demonstrasi ini. Malam nanti kamu buat orasi untuk dirimu sendiri. Siapkan yang
terbaik, perbanyak kalimat hujatan, tapi ingat, harus tetap sopan!”
”Aku?”
tanyaku. Aku tak percaya, begitu juga dengan Si Kritis, dia nampak terkejut
sekaligus senang melihatku bergabung dalam kelompok yang setugas dengannya.
”Ya,
kamu. Tulisanmu sangat mengagumkan. Kamu memang pendiam, tapi aku tahu kamu
sebenarnya handal dalam berorasi seperti Bung Karno.”
”Aku
tidak yakin.”
”Ah,
sudahlah, ambil saja. Amanat jangan disia-siakan!” pojok si Kritis padaku.
”Kalau
begitu, sekarang kita mulai mengkoordinir adik-adik kelas. Mungkin mereka sudah
pulang.”
Si
Kritis berpikir sesuatu. Sepertinya di otaknya terbersit kegalauan.
”Apa
benar akan kita temui satu persatu di rumah?”
”Menurutmu?”
Dia
lantas berpikir keras. Dahinya berkerut, matanya memicing.
”Itu
bakal memakan waktu lama. Tidak efisien. Kita giring mereka ke lapangan!”
”Dengan
cara?”
”Emmmmm........”
Otak si Kritis membuntu.
”Topeng
Monyet!” Sahutku berapi-api memecah kebuntuan beberapa detik tadi. Si Bos Besar
dan si Kritis terlonjak girang seolah-olah baru saja menemukan harta karun di
dasar bukit. Mereka memelukku bergantian.
”Kau
jenius, mari kita sewa seperangkat topeng monyet bapakmu,” puji Bos Besar. Si
Kritis mengacung-acungkan jempolnya padaku.
”Tidak
perlu disewa, untuk acara semacam ini gratis saja.”
”Horeeeeeee........,”
sambut mereka. Keduanya melonjak-lonjak kegirangan di udara. Kemeja sekolah
mereka berkibaran sampai mempertontonkan udel bodong si Bos Besar dan tanda
lahir kecoklatan sebesar bulatan yoyo di perut si Kritis. Aku turut bahagia
melihatnya sekaligus bangga telah secara langsung mendarmakan ide untuk aksi
suci besok siang. Kami lalu bersiap-siap menuju ke sasaran utama yaitu
bocah-bocah cilik, para calon menteri bahkan presiden – adik-adik kelas kami!
Beres.
Adik-adik kelas sukses diajak kompromi. Si Bos Besar menggiring adik-adik kelas
dengan percaya dirinya menuju lapangan. Tak gentar, terus melaju menembus
teriknya matahari. Kami berjalan diiringi pukulan-pukulan semangat dalam hati
dan obrolan riang adik-adik kelas siang itu. Topeng monyet memang sebuah magnet
yang memikat. Tak kusangka si Bos Besar cukup mumpuni memainkan permainan
barunya. Padahal baru beberapa menit saja Tokei si monyet diasuhnya. Mereka
sudah dapat berduet lengket satu sama lain. Aku dan si Kritis berjaga di
belakang untuk meluruskan barisan dan menetralkan keadaan agar tidak kelihatan
mencolok
Sampai
di lapangan si Bos Besar melarang si Kritis dan aku untuk mendekat ke lapangan.
Ia menugasi kami untuk menjaga jalan kecil becek satu-satunya akses menuju
lapangan untuk melindungi kerahasiaan misi ini. Aku dan si Kritis tak banyak
membantah, padahal dalam hati kami ingin sekali terlibat bersama si Bos Besar
menangani adik-adik kelas. Rasa penasaran merayapi dadaku, seandainya saja aku
bisa melihat bagaimana lelaki mungil itu berkoar-koar di tengah-tengah
lingkaran bayi kemarin sore itu dan semakin tampak heroik bersama monyet mungil
yang bergelayut di bahunya. Dari tempat kami berjaga-jaga kami tak terdengar
apapun kecuali gemerisik daun-daun yang bergesekan tertiup angin. Meskipun
begitu, sekali dua kali terdengar suara kharismatik si Bos Besar diselingi
tetabuhan topeng monyet membiuskan provokasi suci ke jantung hati adik-adik
kelas.
Tak
lama bekerja dalam diam, konferensi lapangan yang dikepalai si Bos Besar usai
juga. Adik-adik kelas kembali ke peraduan masing-masing. Di kepala mereka
tertanam misi seragam untuk besok siang. Jalan mereka bergerombol sambil
berkasak-kusuk tentang barang-barang apa saja yang wajib mereka bawa dan lagu
apa saja yang harus mereka nyanyikan secara kompak. Jemari mereka menghitung,
mata mereka menerawang ke masa depan, betapa gegap gempitanya besok siang,
betapa terhormatnya mereka karena merasa dibutuhkan oleh orang yang lebih tua
usianya dari mereka. Si Bos Besar memang hebat bukan kepalang!
Tiba
juga hari yang kami tunggu-tunggu. Hari eksekusi. Adalah harga mati untuk ikut
berpartisipasi. Bahasa tubuh kami, para pemrakarsa demonstrasi mulai nampak
berubah. Langkah kaki menjadi lebih cepat, lirikan mata lebih awas, kode-kode
bermunculan tanpa ada kesepakatan sebelumnya – berjalan alamiah begitu saja. Si
Bos Besar memberi komando agar kami tetap menjaga komunikasi satu sama lain
agar rencana yang telah dirancang kemarin tidak jadi sia-sia.
Usai
shalat Jumat perut terasa nyeri karena teramat tegang. Para adik kelas satu per
satu telah digiring menjauh dari pintu masjid oleh Aryo dan Sani. Sebelumnya
Nunik dan Retno, petugas teatrikal telah mendarat di sekitar lapangan untuk
membetengi properti demonstrasi seperti spanduk, bendera, dan ikat kepala.
Ditambah Bayu, Dimas, dan Rosyid lengkap sudah pasukan teatrikal. Rencananya
mereka akan merias diri di lapangan sekreatif mungkin. Entah ide apa yang
tersimpan di kepala mereka berlima, aku tak tahu. Aku sendiri sedang disibukkan
oleh kegugupanku. Ya, amanat si Bos Besar padaku untuk berorasi nampaknya
begitu berat kupikul apalagi aku bukanlah orang yang pandai berspontanitas.
Kertas yang berisi teks orasi buatanku mengusut, tapi masih dapat terbaca
dengan jelas jika tidak panik. Semalam aku menulisnya dan memprakteknya di
depan kaca. Rasa-rasanya tampangku memang lumayan cocok menjadi orator, tapi
pada kenyataannya aku ini sangat pemalu. Si Bos Besar menyarankan agar aku tak
perlu menghafal teks orasi buatanku, lebih indah membacanya dengan penuh
percaya diri daripada menghafalkannya dengan ragu-ragu. Orator harus terlihat
mantap dan bulat suaranya. Begitu sukarnya!
Si
Bos Besar menghampiriku, menepuk bahuku sambil tersenyum riang menunjukkan
lipatan kertas orasinya.
”Siap?”
Aku
mengangguk.
”Tempatmu
memang di bagian orasi. Aku tak pernah salah pilih.”
Deg.
Tiba-tiba kepercayaan diriku meroket. Kami berdua disusul si Kritis yang sibuk
membenahi tata rambutnya melesat menuju lokasi eksekusi.
Sebelumnya
kami transit terlebih dahulu di lapangan. Aku mendapati keanekaragaman
kreativitas bocah-bocah pemberani yang tertuang dalam spanduk, ikat kepala, lebih-lebih tata rias
para penyaji teatrikal. Seluruh properti turut berbicara. Dimas yang kali ini
didaulat berperan menjadi kepala sekolah karena kemiripannya secara anatomis -
tubuh mungil, jakun menonjol, pipi tirus, dan gigi jarang-jarang nampak
membekali dirinya dengan doa-doa mustajab.
Kami
pun berangkat. Peluh dingin membanjir di dahiku, telapak tanganku licin,
sepertinya aku membutuhkan kaos tangan tipis agar kertasnya tidak basah. Tapi si
Bos Besar sama sekali tak memberikan kesempatan bagi peserta arak-arakan ini
untuk berhenti walau sejengkal. Jika kaki telah dilangkahkan, tak ada waktu
untuk berhenti - menginterupsi jalannya
demonstrasi. Aku diam saja tak berkutik. Saat peralatan dapur mulai ditabuh
oleh para adik kelas sambil menyanyikan mars-mars enerjik, saat panji-panji
demonstrasi yang bermuatan sindirian sarkastis diangkat tinggi-tinggi, saat si
Bos Besar mulai pamer suara perutnya yang menggelegar, saat itu juga virus
demam panggung mulai merayap di tenggorokanku. Harus bisa, ini misi suci!
Arak-arakan
kami telah menyerbu halaman sekolah. Ada sensasi gerrr di dada. Inilah medan tempur kami! Dari jendela ruang kepala
sekolah peci yang dikenakan Kepala Sekolah menyembul, lalu dahinya mulai
kelihatan, matanya, dan akhirnya seluruh wajahnya yang bersemu merah. Kepiting
rebus! Sorakan bertambah riuh, sampai tak terdengar lagi lirik apa yang sebenarnya
tengah kami lagukan. Para penampil teatrikal mulai beraksi dengan sepenuh jiwa.
Luar biasa sekali penghayatannya. Baru setelah melihat gestur Dimas yang
menyerupai dirinya, Kepala Sekolah angkat kaki dari kediamannya. Sebelumnya
provokasi si Bos Besar mental saja.
Kepala
Sekolah memperlihatkan batang hidungya. Begitu marah hingga kumisnya yang tegas
terangkat tinggi-tinggi. Matanya melotot seperti ada tenaga dari luar yang
berusaha menariknya dengan benang-benang misterius. Ia menyaksikan semut-semut baja
di depannya mengkritiknya habis-habisan! Ia yang dulu tangguh tak terperi kini
ditelanjangi habis-habisan! Tanpa suara. Emosi Kepala Sekolah sampai pada
derajat puncak. Tangannya mengepal. Kini giliranku mengikrarkan orasi. Aku agak
gentar, tapi tetap kutegakkan tugas suci ini! Bla..bla..bla..bla..Kubaca dengan
sepenuh hati. Aku mulai ketagihan! Berantas
kedzaliman di muka kampung ini! Jangan biarkan kecurangan oknum menguasai kita
– anak-anak bangsa, generasi penerus bangsa! Teriakan bocah-bocah yang mengamini
membuatku semakin bersemangat. Aksi teatrikal – gulung-gulung di tanah, kepala
sekolah bohongan menyabet pecutan, dan teriakan minta ampun, semakin membrutal,
kini mereka tidak saja menghayati, mereka bahkan kesurupan! Oh, tidak, ini
mengasyikkan. Semenatara itu si Kritis bersiap-siap membuka orasinya. Kututup
orasiku dengan seruan improvisasi yang bahkan tak pernah terlintas dalam
benakku sebelumnya : USIR KORUPTOR! BAKAR KORUPTOR! Sorakan ’Yo’ membumbung ke langit menyusul
aumanku yang membakar isi dada Kepala Sekolah. Sekarang ganti si Kritis, ia
sama kesurupannya dengan para penampil teatrikal. Kalimat-kalimatnya menohok,
sampai yang tidak disindir pun ngilu mendengarnya. Merah sudah wajah kepala
sekolah korup itu. Merah! Merah seperti banaspati!
”Diam!”
gertaknya. Kami diam, bukan karena takut tapi memberi kesempatan padanya untuk
melancarkan alibi. Kami tak sabar mendengar kebohongannya
”Kalian,
anak kecil, tahu apa? Kalian pikir mengelola sekolah itu mudah?”
”Kami
memang Cuma anak kecil. Tapi kami tidak bodoh, kami tahu kejahatan Anda!”
”Bedebah!”
gertaknya. Tak sedikitpun kami gentar.
Sepertinya
hari ini Tuhan menepati janji kemudahan bagi manusia-manusia yang telah sekian
lama teraniaya. Dari arah barat nampak Pak Kadus berjalan beriringan dengan
guru Matematika kami, Pak Lutfan. Dua biji bilur biru kehitaman di dahi Pak
Kadus bekas tahajud membuat kami optimis. Keduanya bingung seketika menyaksikan
lautan manusia memenuhi halaman sekolah padahal hari ini bukanlah hari yang
istimewa, hari Jumat biasa, bukan hari yang diperingati secara nasional.
Keduanya berhenti. Kepala Sekolah terserang penyakit bisu seketika. Pak Lutfan
dan Kepala Sekolah bersitatap, dua wajah yang kerapkali bersitegang usai rapat
itu bertemu, sama-sama merona. Bisa dibilang pak Lutfan adalah satu-satunya
guru yang bersih dari kata korupsi di sekolah kami. Namun sayangnya Tuhan belum
menganugerahinya semacam keberanian untuk membongkar sindikat pengerat uang
rakyat di tempatnya bekerja. Semoga saja hari ini beliau mendapat restu Tuhan
untuk bersaksi di depan Pak Kadus.
”Apa
yang terjadi,” ujar Pak kadus memecah keheningan. Matanya melotot melihat
spanduk-spanduk nakal yang dibawa bocah-bocah. Salah satu yang paling mencolok
adalah spanduk yang berisi tiga tuntutan pelajar : TURUNKAN SPP, TURUNKAN
KEPALA SEKOLAH, BENAHI FASILITAS! Tiga tuntutan ini terinspirasi oleh peristiwa
Tritura. Pak Luthfan diam beku. Sementara mata Pak Kadus meminta penjelasan
segera. Pak Luthfan berdehem ringan. Akhirnya Pak Kadus menggiring Kepala
Sekolah, Pak Luthfan, dan si Bos Besar menuju ke druang guru. Ada yang akan
meregang nyawa! Si Bos Beasar mengacungkan tangan, menandai langkah awalnya
menuju kemenagan. Kudeta!
Sekitar
lima belas menit menunggu yang rasa-rasanya seperti ratusan tahun bercokol di
halaman sekolah mengiringi akar-akar mungil tanaman berubah serupa otot-otot
raksasa, akhirnya si Bos Besar keluar dari ruangan persidangan. Wajahnya datar,
menunduk seperti ada rantai yang membelenggu lehernya. Kami terpaku menunggu
hasil keputusan persidangan. Jangan-jangan Kepala Sekolah berhasil membelot
lagi. Jangan-jangan demonstrasi ini akan bubar tanpa hasil! Oh tidak, jantung
kami berdegup keras terpacu ketidaksabaran. Si Bos Besar menghampiri kerumunan.
Ia hirup nafas dalam-dalam. Dag dig dug.
”Kita
harus menerima keputusan ini dengan lapang dada!”
”Apakah
kita gagal?” tanya si kritis tidak sabaran.
”Ikhlaskan
semua keputusan yang sudah disepakati.”
”Apa
maksudnya?” si Kritis makin dibakar rasa penasaran.
Si
Bos Besar memberi jeda sejenak.
”KITA
MENANG!” Deg.
”Horeeeeeeeee......,”semua
bersorak, saling memeluk, saling memukul dengan kasih, saling melempar
benda-benda yang ada di tangan. Tak ada yang peduli lagi. Semua lepas kendali.
Teriakan yang membahana ke langit sampai ke telinga Tuhan. Tuhan ikut tertawa.
Si
Kritis memberi aba-aba untuk menggendong si Bos Besar. Si Bos Besar yang tidak
sigap terkaget-kaget kakinya mulai tak menyentuh tanah. Tubuh kecilnya
dilempar-lempar ke angkasa. Bajunya berkibar-kibar, rambutnya berkibar-kibar,
tawanya berderai. Pak Luthfan keluar dari ruang persidangan, wajahnya lebih
cerah daripada yang biasanya. Matanya berkaca-kaca.
Ia
bersiap untuk bicara, deheman halus meluncur dari tenggorokannya
”Hari
ini terurai sudah kejahatan di balik dinding sekolah reyot ini. Kini saatnya
pembaharuan. Terimakasih anak-anakku. Kalian memang cerdas!”
Pak
Luthfan tak kuasa membendung air mata. Ia tak dapat lagi melanjutkan
kata-katanya lantas ia melangkah pergi menjauhi kerumunan. Mungkin Pak Luthfan
punya cara tersendiri untuk menimati kebahagiaan yaitu dengan menyendiri.
Sosoknya raib ke balik gedung. Kami merasa amat terharu. Tetapi dua detik
kemudian kegegap gempitaan kembali membuncah mengisi siang yang beranjak sore
itu. Menang!