Sabtu, 19 Maret 2011

Kenangan dari Almarhum Pemberontak yang Baik Hati

“Di dalam dada Tuhan, di dalam naungan cahaya terlembut yang pernah menyentuh mataku, namamu kusebut. Untuk yang pertama kali dan seterusnya. Kau yang menari di atas permukaan bumi, lihatlah bahwa jiwa kita sedang bersenyawa dengan air, tanah dan udara. Kita adalah anak alam, anak suci berbelati dan pemberani. Bunuhlah yang bersalah, sayang. Jangan ragu!!!!! Anak-anak kita yang lapar namun berbahagia, persenjatai mereka, sayang, dengan cinta, pemberontakan dan kehidupan yang benar-benar hidup di dalam hati mereka. Di sini aku memantaumu dengan jelas, ingin kulihat perjuangan, gelora persatuan dalam api maupun kepulan asap. Dan sekali lagi, aku adalah kain yang mengikat kepalamu dan anak-anak kita ketika kalian berteriak serta mengacungkan kepalan tangan!!!!”


Ayah dari ketiga anakmu


Berbenahlah, hari ini juga, berbenahlah meskipun kau berbenah untuk berdarah. Kertas kecil yang kujaga benar-benar kehalusannya sampai tak ada sesentipun yang robek maupun kucel ini mulai bereaksi. Seperti efek obat bius yang mengaliri urat sarafku. Tidak ada ketakutan, hanya ada gejolak tentang maukah kau hidup dan sudikah kau untuk mati. Barisan huruf berantakan dalam surat tadi masih berpidato di otakku. Lantang sekali, seperti hymne kaum buruh, seperti gebukan beribu-ribu drum. Aku tidak bohong soal ini, aku sangat pemberani.
Hanya untuk suamiku…………semua terdengar khayal. Srikandhi hanya ada dalam cerita, tapi ternyata banyak terlahir jelmaan Srikandhi di dunia nyata. Kata suamiku, kemungkinan salah satunya adalah aku………katanya juga aku harus mulai ditempa. 
Kami sudah siap. Tekad membusung di dada. Tidak ada setetes pun keraguan di hati kami. Inilah jalur yang harus kami tempuh, yang harus kami lewati tanpa keluh. Seandainya kami hanya berdiam diri tentu kami akan mati terinjak-injak di atas tanah kami sendiri, di antara bangkai sahabat-sahabat senasib kami. Kata suamiku itu menyakitkan, yaitu ketika hak kita dipangkas. 
Tiga bulan yang lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya. Satu bidikan, tepat di uluh hatinya. 
Polisi menangkapnya ketika ia dan sepuluh kawannya tengah membahas soal demonstrasi kedua. Tak satupun dari mereka yang menyangka bahwa kerahasiaan pertemuan itu bocor. Aku sendiri juga tidak menyangka akan hal itu. Akibatnya demonstrasi kedua batal, malam hari itu juga kesebelas perancang strategi digiring ke kantor polisi. Sebagian saksi melihat bahwa mereka yang tertangkap ditelanjangi dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka berjalan dipandu oleh pentungan-pentungan berat para polisi, beberapa di antaranya yang mencoba melawan dicambuk dengan rotan. Entahlah, semoga ketika itu Tuhan melindungi suamiku sehingga dia mampu menahan letupan emosinya. Aku tahu benar bahwa jiwanya bermasalah, dan aku tahu benar bahwa dia seringkali kehilangan kontrol emosinya pada saat-saat kritis. 
Selama seminggu mereka ditahan tanpa proses peradilan. Itu sangat menyiksa batinku. Kelompok kami mulai bereaksi terhadap kepincangan hukum pemerintah ini, namun tidak ada reaksi balik. Kami merasa dibodohi. Di sini kebencian kami terhadap rezim ini semakin berkarat. Dan ketika vonis hukuman mati dijatuhkan kami hanya bisa mengutuk mereka yang berwenang, kami sempat kalap, namun sia-sia saja, penangkapan anggota-anggota kami semakin meluas. Gerak kami dipersempit. 
Rezim ini memang kejam. Menggilas kami dengan roda-roda militerisme yang kejam dan kaku. Sejak awal berdirinya kekuatan busuk ini, kami mulai terorganisir oleh sesuatu yang menjijikkan. Kami hidup dinaungi ketakutan akan drakula-drakula gentayangan atau sekelompok psikopat gila, dan sampai pada suatu saat ketika masa lalu kami ditelisik sampai tuntas, mulai terlihat sebuah teori kejam yang akan segera diberlakukan. Garis keturunan kami diusut. Yang berdarah orang-orang bermasalah pada dua rezim sebelumnya mulai diperkosa hak-haknya. Tentu ini adalah sebuah masalah besar. Sejujurnya suatu tindakan yang salah mempercayai adanya dosa waris, Tuhan pun mengharamkannya. Ketika kebenaran itu coba diusung oleh para pendahulu kita dan itu gagal, apakah itu yang menyebabkan kita harus terkena getahnya???? Apakah dosa masa lalu perlu dibangkitkan lagi kepada wajah-wajah anak-anak para pendosa???? Dan sesungguhnya posisi para pendahulu kami adalah sebagai warga negara yang merindukan memanen padi di sawah sendiri, dan meminum air dari sungai kami sendiri. Sekarang kami ada di posisi yang sama. Itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun sampai segalanya terpenuhi. 
Ya, kini aku berdiri, di hadapan anak-anakku, sebagai ibu mereka, membiuskan doktrinasi. Tidak boleh takut, tidak boleh merengek, tidak boleh mengeluh. Haram!!! Kubisikkan pada mereka satu per satu. Bulat juga tekadku hari ini. Jangan pedulikan gas air mata, pedulikan harga dirimu yang harus kau rampas kembali, jangan kau pedulikan peluru-peluru liar menerjang, pedulikan ayah-ayahmu yang menghadap para algojo di tengah malam itu, jangan pedulikan pukulan rotan atau gelonggong kayu, pedulikan bahwa kau adalah yang berhak atas dirimu sendiri dan bukan orang lain, pedulikan nenek moyangmu yang hidup bercokol di atas tanah dosa berdarah, tanah fasis yang disumpah serapahi oleh Tuhan. Amin.
Kami berangkat, itu saja. Tenang sekali langkah kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar