Sabtu, 19 Maret 2011

Rock Serta Roll

























      Ini memang bukan sebuah kebangkitan diri yang berarti bagi saya. Ini hanya sebuah hiburan yang ditujukan kepada saya ketika saya tidak bisa cocok menerima sebagian besar apa yang saya dengar, yang saya baca, yang saya lihat dan yang mereka kenakan. Rasanya manis. Rock N’ Roll. Invasi anak-anak hair metal 80an ke otak saya. Saya senang sekali layaknya anak kecil yang diberi gula-gula berwarna mencolok. Terkadang saya merasa bahwa saya adalah siswi terkeren di sekolah saya karena saya lain daripada yang lain. Mereka mungkin tidak tahu apa yang saya tahu, tapi saya juga tidak tahu apa yang mereka tahu. Mati mode!!!!!!!Mungkin saya culun di mata kumpulan anak-anak gaul, saya juga tidak terlalu berbakat di mata anak-anak multitalenta. Entahlah, hanya saja saya merasa bahwa saya adalah gadis yang beruntung.
     Teman saya yang saya juluki ‘Slash’ adalah anak bertangan ajaib. Itu harus diakui karena jemarinya seperti memperagakan tari golek Sulung Dayung jika sedang memetik gitar. Slash masih sebaya dengan saya, tapi bakatnya sudah tak tertahankan. Saya suka bercakap-cakap dengan orang-orang sebaya saya yang telah saya kenal, dan di dalam percakapan saya berusaha sebisa mungkin agar tidak terlihat bodoh di mata lawan bicara saya. Ya, tidak perlu terlalu panjang, dari Slash saya punya keinginan kuat utnuk mengetahui banyak tentang Rock n’ Roll masa lalu. Saya memulainya di rumah dengan MP3 bajakan The Rolling Stones yang saya beli hanya dengan harga 6000 rupiah saja. The Rolling Stones memenuhi persyaratan saya lewat tembang Angie. Jujur, saya suka sekali lagu cinta(mungkin ini yang membuat saya terlalu Telenovela). Seiring waktu berjalan, referensi saya mengenai The Rolling Stones bertambah

    


(tulisan ini sebelumnya diposkan di halaman earleetommy.blogspot.com - The Story of Aya akhir tahun 2008, kemudian coba dihadirkan ulang di alamat blog baru saya untuk sekedar mengenang masa SMP yang genting dan kontradiktif)

Mereka Ada di Gerbang yang Sama

Kurt melayangkan seringai tipis ke arahku
Lantas ia berkata : I hate myself....I want to die
Aku bungkam tapi aku tahu ia benar
Kualihkan pandangan, di sana terduduk seorang Joplin
Joplin yang telanjang
Joplin yang memainkan asap suatu produk depresan
Joplin yang menimbang-nimbang abu kematiannya
yang dilarutkan ke Pasifik
Ia berkata : I am extraordinary. No one like the ordinary
Aku mengangguk damai
Seseorang menepuk pundakku
Tangan legam seperti timah hitam
Jimmy, pekikku
Hendrix yang ajaib
Sambil membetot senar tergemuk ia menyeru : Passion!!!!!
Aku tertawa 
Sampai rahangku serasa meletus
Itulah mereka dalam mimpiku

Blues dari Tuhan

Blues mengerang dalam ruangan ini
Riuh dan kental....
Membasah pada dinding malam
membentuk bintik-bintik menyala pada raut wajah rembulan
Ini malam kita......
Kalau kau membisikkan nama Ali Farka dan Eric Clapton 
Mengapa pianonya terdengar seperti pekikan UFO??
Seharusnya ditambah didgeridoo meningkah kasar nyanyi gitar

Blues terus mengerang, lebih sakit lagi
Lenganku terinjeksi...secara ajaib
Lalu muncul di hadapanku bianglala raksasa
Aku naik, dari atas bisa kulihat biru Malibu dan kubau kopi Brazil
Kujilat Spinx, dan aku menari di depan dewa-dewi Yunani

Blues terus mengerang......
Sayangnya langit mulai terbakar
Surya bangsat!!!!
malam habis....
Blues kemudian terbunuh

Kau lenyap dari bantalku, meninggalkan kehangatan tipis belas regkuhan tubuh
Punggung dan kepala....
Bianglala...
Semua hilang setelah blues terbunuh
Hilang sempurna

Kenangan dari Almarhum Pemberontak yang Baik Hati

“Di dalam dada Tuhan, di dalam naungan cahaya terlembut yang pernah menyentuh mataku, namamu kusebut. Untuk yang pertama kali dan seterusnya. Kau yang menari di atas permukaan bumi, lihatlah bahwa jiwa kita sedang bersenyawa dengan air, tanah dan udara. Kita adalah anak alam, anak suci berbelati dan pemberani. Bunuhlah yang bersalah, sayang. Jangan ragu!!!!! Anak-anak kita yang lapar namun berbahagia, persenjatai mereka, sayang, dengan cinta, pemberontakan dan kehidupan yang benar-benar hidup di dalam hati mereka. Di sini aku memantaumu dengan jelas, ingin kulihat perjuangan, gelora persatuan dalam api maupun kepulan asap. Dan sekali lagi, aku adalah kain yang mengikat kepalamu dan anak-anak kita ketika kalian berteriak serta mengacungkan kepalan tangan!!!!”


Ayah dari ketiga anakmu


Berbenahlah, hari ini juga, berbenahlah meskipun kau berbenah untuk berdarah. Kertas kecil yang kujaga benar-benar kehalusannya sampai tak ada sesentipun yang robek maupun kucel ini mulai bereaksi. Seperti efek obat bius yang mengaliri urat sarafku. Tidak ada ketakutan, hanya ada gejolak tentang maukah kau hidup dan sudikah kau untuk mati. Barisan huruf berantakan dalam surat tadi masih berpidato di otakku. Lantang sekali, seperti hymne kaum buruh, seperti gebukan beribu-ribu drum. Aku tidak bohong soal ini, aku sangat pemberani.
Hanya untuk suamiku…………semua terdengar khayal. Srikandhi hanya ada dalam cerita, tapi ternyata banyak terlahir jelmaan Srikandhi di dunia nyata. Kata suamiku, kemungkinan salah satunya adalah aku………katanya juga aku harus mulai ditempa. 
Kami sudah siap. Tekad membusung di dada. Tidak ada setetes pun keraguan di hati kami. Inilah jalur yang harus kami tempuh, yang harus kami lewati tanpa keluh. Seandainya kami hanya berdiam diri tentu kami akan mati terinjak-injak di atas tanah kami sendiri, di antara bangkai sahabat-sahabat senasib kami. Kata suamiku itu menyakitkan, yaitu ketika hak kita dipangkas. 
Tiga bulan yang lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya. Satu bidikan, tepat di uluh hatinya. 
Polisi menangkapnya ketika ia dan sepuluh kawannya tengah membahas soal demonstrasi kedua. Tak satupun dari mereka yang menyangka bahwa kerahasiaan pertemuan itu bocor. Aku sendiri juga tidak menyangka akan hal itu. Akibatnya demonstrasi kedua batal, malam hari itu juga kesebelas perancang strategi digiring ke kantor polisi. Sebagian saksi melihat bahwa mereka yang tertangkap ditelanjangi dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Mereka berjalan dipandu oleh pentungan-pentungan berat para polisi, beberapa di antaranya yang mencoba melawan dicambuk dengan rotan. Entahlah, semoga ketika itu Tuhan melindungi suamiku sehingga dia mampu menahan letupan emosinya. Aku tahu benar bahwa jiwanya bermasalah, dan aku tahu benar bahwa dia seringkali kehilangan kontrol emosinya pada saat-saat kritis. 
Selama seminggu mereka ditahan tanpa proses peradilan. Itu sangat menyiksa batinku. Kelompok kami mulai bereaksi terhadap kepincangan hukum pemerintah ini, namun tidak ada reaksi balik. Kami merasa dibodohi. Di sini kebencian kami terhadap rezim ini semakin berkarat. Dan ketika vonis hukuman mati dijatuhkan kami hanya bisa mengutuk mereka yang berwenang, kami sempat kalap, namun sia-sia saja, penangkapan anggota-anggota kami semakin meluas. Gerak kami dipersempit. 
Rezim ini memang kejam. Menggilas kami dengan roda-roda militerisme yang kejam dan kaku. Sejak awal berdirinya kekuatan busuk ini, kami mulai terorganisir oleh sesuatu yang menjijikkan. Kami hidup dinaungi ketakutan akan drakula-drakula gentayangan atau sekelompok psikopat gila, dan sampai pada suatu saat ketika masa lalu kami ditelisik sampai tuntas, mulai terlihat sebuah teori kejam yang akan segera diberlakukan. Garis keturunan kami diusut. Yang berdarah orang-orang bermasalah pada dua rezim sebelumnya mulai diperkosa hak-haknya. Tentu ini adalah sebuah masalah besar. Sejujurnya suatu tindakan yang salah mempercayai adanya dosa waris, Tuhan pun mengharamkannya. Ketika kebenaran itu coba diusung oleh para pendahulu kita dan itu gagal, apakah itu yang menyebabkan kita harus terkena getahnya???? Apakah dosa masa lalu perlu dibangkitkan lagi kepada wajah-wajah anak-anak para pendosa???? Dan sesungguhnya posisi para pendahulu kami adalah sebagai warga negara yang merindukan memanen padi di sawah sendiri, dan meminum air dari sungai kami sendiri. Sekarang kami ada di posisi yang sama. Itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun sampai segalanya terpenuhi. 
Ya, kini aku berdiri, di hadapan anak-anakku, sebagai ibu mereka, membiuskan doktrinasi. Tidak boleh takut, tidak boleh merengek, tidak boleh mengeluh. Haram!!! Kubisikkan pada mereka satu per satu. Bulat juga tekadku hari ini. Jangan pedulikan gas air mata, pedulikan harga dirimu yang harus kau rampas kembali, jangan kau pedulikan peluru-peluru liar menerjang, pedulikan ayah-ayahmu yang menghadap para algojo di tengah malam itu, jangan pedulikan pukulan rotan atau gelonggong kayu, pedulikan bahwa kau adalah yang berhak atas dirimu sendiri dan bukan orang lain, pedulikan nenek moyangmu yang hidup bercokol di atas tanah dosa berdarah, tanah fasis yang disumpah serapahi oleh Tuhan. Amin.
Kami berangkat, itu saja. Tenang sekali langkah kami.