Senin, 27 Juni 2011

Melangkah (Seorang Putra yang Diseleksia)


                         
Kau tidak normal. Dan kau membenci pesan tersembunyi di balik setiap deret huruf. Kau membencinya karena kau tak akan pernah berhasil memecahkan teka-teki deret huruf tersebut. Kau membencinya karena kau selalu menemukannya tiap kali kakimu menapak. Huruf menyerupai tanah. Huruf menyerupai udara. Huruf menyerupai air. Ketika kau sedang berada di puncak kebencian, kau tahu benar berarti kau juga sedang membenci kehidupan.
            Semua benda yang bergerak adalah huruf.
            Gravitasi adalah huruf.
            Film-film adalah huruf.
            Kau seringkali memimpikan huruf-huruf raksasa yang tak kau pahami tapi kau mengerti mereka mengejarmu untuk memakanmu. Kau berlari menghindari huruf-huruf gempal yang terbuat dari kapas berlapis beludru warna-warni. Mereka mainan masa kecilmu yang kau buang ke tempat sampah, gudang belakang rumah, kolong meja dan tempat tidur. Kau berlagak tak membutuhkannya karena kau merasa sudah cukup adil memperlakukan mereka dengan kebencianmu yang sungguh dalam. Kau pikir mereka juga membencimu, bahkan sebelum kau membenci mereka. Dan tak ada niatan untuk berbaikan. Tak ada niatan untuk menguji seberapa tangguhnya dirimu lagi bersanding dengan mereka.
            Ibumu sudah berhenti memaksamu untuk membaca. Tapi kau menangkap matanya senantiasa memburumu dan berharap : Bacalah, bacalah, bacalah!  Pelukannya yang cuma-cuma terasa begitu rapuh. Wajahnya datar, terkadang memelas. Ia tak pernah lagi marah padamu, tak juga bersikap terlalu manis. Kau merasa ibumu berusaha keras menahan diri untuk tak memaksamu melakukan hal-hal yang tak kau kehendaki. Meskipun itu baik bagi dirimu? Mungkin. ibumu hanya sekali-kali mengucap kata ’jangan’ atau ’tolong hentikan’ selebihnya ibu hanya tersenyum dan mengawasimu diam-diam lewat mata ayamnya. Mata ayam – yang kau rasa adalah salah satu bentuk sikap antisipatif ibu agar di matamu dirinya tak akan pernah lagi bertindak terlalu protektif dan agar terbangun dalam dirimu kepercayaan diri yang sekuat beton. Kau bisa hidup bahkan tanpa huruf sekalipun.

            Hari ini adalah hari ulang tahun adik perempuanmu. Ia genap berusia lima tahun. Keluarga besarmu berkumpul untuk menghadiri pesta di kebun samping. Kue tar raksasa tersaji di atas cawan bundar bermotif. Kue yang mewah dengan hiasan coklat dan krim warna pelangi di bagian atasnya. Pembuat roti menuliskan huruf dengan krim dan coklat bulat pipih yang disusun secara vertikal dan horizontal mirip angka yang tertera di kalkulator ayah. Sebuah lilin berbentuk seperti ular tanpa kepala dinyalakan oleh ibu. Adik perempuanmu meniupnya penuh gairah di sela-sela nyanyi riang hadirin pesta yang memakai topi kerucut dan beberapa di antara mereka memasang hidung badut yang merah merona. Semua bertepuk tangan tanpa terkecuali kau ketika adik perempuanmu berhasil membacakan dengan lancar dan penuh percaya diri tulisan yang terbuat dari krim dan coklat pipih. Ibu dan ayah tertawa bangga kemudian satu persatu menciumi pipi adik perempuanmu. Kau tak ketinggalan menciumnya meskipun bercampur pahit. Ia lima tahun. Kau tujuh tahun. Tapi ia telah mengalahkanmu dalam segala hal hanya karena kau tak bisa membaca sebaik dirinya.
            Kau teringat ketika kau seumuran adik perempuanmu. Sebenarnya ulang tahunmu jauh lebih meriah dari ulang tahun adik perempuanmu. Lebih banyak keluarga yang datang, lebih banyak kado, dan lebih banyak kudapan. Tapi semua tampak abu-abu ketika kau selesai meniup lilin. Kau tak bisa membaca apa yang tertera di atas kue ulang tahunmu. Itu gila. Kau ingin mengacak-acak huruf-huruf dari krim itu dan menyisakan gambar kartun dirimu yang memakai baju kesebelasan favoritmu dan ayah di bagian pojok kue. Saat orang-orang berharap kau akan membacakan kalimat harapan di atas kue, diam-diam kau mengutuk dirimu sendiri, kau ingin berlari lalu sembunyi di manapun sampai mereka tak bisa melihatmu lagi. Kau begitu malu. Ayah pengertian, ia lantas menggendongmu dan membacakannya untukmu dan hadirin pesta. Semua bertepuk tangan seakan-akan kaulah yang telah menyelesaikan kalimat-kalimat harapan di atas kue. Ayah berkata pada hadirin bahwa kau sering gugup jika berdiri di hadapan banyak orang. Ayah bohong. Seratus persen ayah bohong. Saat tatapan ayah dan ibu bertemu ibu hanya bisa memberikan senyum pasrah dan gedikkan ringan di bahu.
            Sejak saat itu kau pikir ayahlah satu-satunya manusia yang paham benar keadaanmu, menyayangimu, dan menjadi payung pelindungmu. Cuma ayahlah yang bersedia memberikan ciuman selamat malam, menggendongmu, memuji lukisan-lukisanmu yang sebagian besar berwarna monokrom, dan menemanimu jalan-jalan sambil membacakan tulisan-tulisan di baleho-baleho besar agar suatu hari nanti ketika kau pergi sendiri kau tahu tempat apa itu. Kau diajaknya ke tempat-tempat istemewa yang seakan-akan Tuhan menciptakannya hanya untukmu dan ayahmu. Kau digendongnya dengan lembut dan dibisiki kalimat-kalimat penumbuh rasa percaya diri. Kau menyentuh pipinya dan berharap dalam hati jangan sampai ayahmu mati. Ayahlah satu-satunya guru yang membuatmu merasa huruf-huruf bukanlah momok, mereka hanyalah sekumpulan simbol-simbol yang memang kecil kemungkinan bisa menempel di otakmu dan bertahan di sana untuk waktu yang lama. Meskipun begitu di dekat ayahmu huruf-huruf tidak menakutkan, kau tak perlu menangis karena tak mampu berkompromi dengan mereka
            Ketika kau terbangun dari mimpi burukmu tentang huruf-huruf raksasa kau mendengar ibu dan ayahmu bertengkar di dapur. Kau tahu pasti mereka ada di dapur karena dapur adalah ruangan paling ujung di rumahmu dan terjauh dari kamar tidurmu – karena mereka tak ingin kau mendengar apalagi tahu menahu apa yang mereka pertengkarkan. Suara mereka dipelan-pelankan, tapi kau tetap bisa mendengar dengan jelas namamu disebut berulangkali baik oleh ibu atau ayahmu. Yah, namamu. Jarang sekali nama adik perempuanmu yang disebut. Apakah karena ia baik-baik saja? Sempurna? Apakah karena di rumah ini kau yang selalau menimbulkan bencana? Apakah karena kau tak bisa membaca sebaik dia? Itu tidak adil. Kau menangis. Kau bekap wajahmu dalam-dalam pada bantal agar tak seorang pun mendengar isakmu. Supaya tak seorang pun mengusikmu. Lagi-lagi kau mengutuk dirimu sendiri. Sementara pertengkaran ibu dan ayah nampaknya semakin panas. Rupanya di belakangmu ibumu masih menuntutmu. Masih. Dan itu pasti akan sangat berat bagimu menuruti kemauannya.

            Paginya saat sarapan di dapur ibu memberitahumu bahwa kau harus kembali ke sekolah minggu depan setelah sempat putus sekitar satu tahun. Segalanya akan lebih baik, janjinya padamu. Ia mengusap kepalamu, menciumnya lalu mengoleskan margarin di atas rotimu dengan penuh kesabaran. Matanya cekung dan gelap bekas kemarahan semalam. Adik perempuanmu berjingkrak antusias dengan rencana kembalinya kau ke sekolah. Ya, dengan kembalinya kau ke sekolah itu berarti kau dan adik perempuanmu akan bersama-sama menunggu jemputan ibu di halaman sekolah yang akan kau khawatirkan sebagai panggung aksi pamer adikmu akan kecakapannya membaca kalimat-kalimat pada buku cerita bergambarnya. Kau akan membenci detik-detik berada di samping adikmu yang tak bosan-bosannya menyanyikan lagu Alfabet dan membentuk jari-jari mungilnya sedemikian rupa agar menyerupai huruf-huruf yang mampu ia hafal lima macam per menitnya.
            Kau juga akan membenci waktu mandi yang terlalu pagi, teman-temanmu yang cerdas, gurumu yang kau rasakan sapaan manisnya hanya kebohongan belaka, loker tempat barang-barangmu disimpan, dan tumpukan buku.
            Ayah muncul dengan wajah kusut yang ditegar-tegarkan. Seperti biasa ia menyapamu dengan tinju kecil di lengan. Ia telah kalah semalam. Saat melihat matanya kau ingin mengadu betapa takutnya dirimu dengan semua yang akan kau hadapi di sekolah. Tapi di dekatmu juga ada ibu. Kau takut padanya. Sejak kapan kau takut padanya? Kau berpikir mungkin kau takut karena kau telah kehilangan kasih sayangnya yang seakan-akan hanya tercurah pada si normal adik perempuanmu. Kau takut padanya karena mungkin ia tak lagi percaya padamu sejak kau sering pingsan di kelas karena terlalu takut dengan papan tulis dan pelajaran-pelajaran yang semuanya memakai huruf di dalamnya. Ia mengira kau pura-pura pingsan agar bisa cepat pulang ke rumah karena setelah dibawa ke dokter kau tak didiagnosa suatu penyakit apapun. Tapi kau benar-benar pingsan – karena kau tak bisa membaca dan takut. Kau tak pernah berbohong soal itu.
            Kau ingin menangis di pelukan ayah. Tapi  ibumu  segera menyergah sebelum air mata pertama menyembur. Ia menanyakan apakah kau bersedia atau tidak untuk kembali ke sekolah. Kau terdiam beberapa saat. Mulutmu terkunci rapat. Kau tahu pada akhirnya kau harus berkata ’ya’. Kau berpikir mengapa ibumu harus bertanya ya atau tidak? Ayah dan adik perempuanmu menunggu jawabanmu. Ada dua sisi. Ayah berharap agar kau tetap tinggal di rumah. Adik perempuanmu berharap minggu depan mendapatkan teman baru yang akan ia tunjukki betapa cerdasnya dirinya.
            Kau mengangguk lemas. Setelah itu cepat-cepat kau tinggalkan sarapan pagimu. Kau ingin keluar mencari udara bebas sebelum segalanya terenggut secara menyakitkan minggu depan. Kau tak bisa menebak apa yang akan terjadi minggu depan!

            Ayahmu menghampirimu lantas mendekapmu. Kau menangis sekeras-kerasnya. Ia menepuk-nepuk punggungmu berusaha mengalihkan semua rasa takutmu. Lalu ayahmu mulai bercerita tentang dirinya. Saat ia seumuran denganmu ia sering pergi memancing ke laut bersama kakak perempuannya. Suatu hari cuaca buruk, ayahmu dan kakak perempuannya tetap pergi memancing karena hari itu mereka ingin menghadiahkan ikan terbesar untuk ayah mereka yang sedang berulang tahun. Naas, kakak perempuan ayahmu terseret ombak. Hilang. Mati. Sejak saat itu Ayahmu takut dekat-dekat dengan lautan. Tapi Ayahmu berusaha memaksakan dirinya untuk menghapus rasa takutnya. Ia ingin sembuh. Pada akhirnya ayahmu berhasil mengalahkan rasa takutnya setelah bertahun-tahun mencoba mengubur kenangan buruk itu. Dan kau lihat, di hadapanmu, seorang lelaki tangguh yang mengajarimu tinju dan karate di ring mini di kebun belakang, yang saat kecil takut dengan laut adalah seseorang yang kini bekerja sebagai nahkoda pengantar penumpang ke pulau seberang. Hatimu luluh.
            Kau tersenyum pada ayahmu. Matanya berbinar. Kau berjanji akan berusaha menyamai tekadanya, keberaniannya. Kau berjanji akan menghadiakan keajaiban untuk dirinya, ibumu, dan adik perempuanmu.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar